Saya membuat tulisan ini dengan sebuah perasaan bingung! Ya, bingung sekali, antara sebuah fakta atau opini :D
Kemarin saya sedang presentasi dan dalam presentasi itu saya menyatakan, “salah satu dampak korupsi adalah kita semua harus membayar 7 juta rupiah untuk tiap semester perkuliahan di Universitas Indonesia.” Kemudian selang beberapa saat seorang teman saya menyatakan, “gi kamu salah membuat statement, kenapa kamu bilang tujuh juta rupiah yang kita bayarkan setiap bulan itu adalah dampak negative korupsi?” Saya belum sempat menjawab pertanyaan dia, karena segera setelah presentasi itu saya masih harus meeting dengan orang lain, dan tidak bisa berlama-lama di ruang kelas. Melalui tulisan ini, saya harap pertanyaan itu bisa terjawab.
Saya tidak sedang mencoba untuk membuat sebuah hoax atau apalah namanya, tapi memang betul korupsi adalah sebuah masalah laten yang berdampak sistemik untuk kita semua, SE-INDONESIA! Laten karena sebenarnya masalah itu berbahaya, sangat berbahaya, namun masyarakat tidak peduli dan waspada dengan masalah korupsi ini, sebagian besar orang merasa korupsi itu adalah urusan orang besar, urusan pejabat dan aparat. Mereka kadang lupa kalau korupsi itu tidak sebesar yang mereka kira, tapi menurut saya, korupsi yang sekarang itu adalah akumulasi dari penyelewengan-penyelewengan kecil yang akhirnya bertumpuk, kira-kira sama seperti bola salju yang menggelinding dan semakin besar.
Mari kita kembali ke topic yang awalnya ingin saya bahas mengapa saya menganggap bayaran mahal sebagai bentuk efek korupsi. Saya akan mulai dari bagaimana proses pendidikan itu berjalan. Lihatlah bagaimana tendernya berlangsung, ada banyak kejanggalan dalam proses tender dan pelaksanaan pembangunan/pengadaan fasilitas yang terkait dengan pemerintahan. Sudah menjadi rahasia umum apabila 5-10 persen dari nilai tender itu akan diberikan oleh pemenang tender kepada pihak-pihak terkait (katakanlah stakeholder) mulai dari kepala daerah, pejabat dinas pendidikan, pimpinan institusi pendidikan tersebut, dan pihak lain yang mendukung sang kontraktor terpilih sebagai pemenang tender. Kalau kita lihat lebih dekat bukti nyatanya, banguna yang dibangun oleh Indonesia cenderung memiliki daya tahan yang lebih singkat dibanding yang dibangun oleh asing. Hal lain yang tidak kalah memukau adalah bagaimana Institusi pendidikan sebesar UI sekalipun ternyata tidak bisa menampilkan neraca keuangannya secara transparan kepada public. Miris mengingat sejauh yang saya tau semua transaksi keuangan di UI udah dilaksanakan dengan memaksimalkan peran perbankan, mulai dari gaji, dana untuk kegiatan mahasiswa, dan segala keuangan lain dilakukan dengan memanfaatkan jasa perbankan
. Lalu mengapa tidak bisa transparan? Apakah di UI tidak ada akuntan yang bisa mengaudit? Bukankah tiap tahun UI menghasilkan ratusan akuntan muda?Ada ratusan orang yang saya kenal di UI, banyak dari mereka yang hobby turun ke jalan, teriak-teriak, menuntut pemerintah melakukan perubahan. Tapi saya kadang mempertanyakan lagi, bagaimana mereka yang turun ke jalan itu bersikap setiap hari. Saya pernah mendapati ternyata orang yang berteriak-teriak di berbagai kantor pemerintahan itu ternyata tidaklah lebih baik dari orang-orang yang mereka demo. Lihatlah lebih dekat, banyak dari mereka yang demo itu ternyata koruptor juga, ya koruptor karna mereka membayar RT, RW dan kelurahan tempat mereka tinggal hanya untuk mendapatkan selembar KTP. Selain itu, ada berapa banyak dari mereka yang menyuap untuk dapat sim dan membayar polisi ketika ditilang!
Banyak orang yang tidak sadar betapa korupsi sangat ‘bersahabat’ dengan kehidupan mereka. Banyak yang merasa suci dan berhak mengkritik gayus, anggota DPR, bahkan Presiden RI. Tapi cobalah berkaca sendiri, bahkan menyebrang jalan di tempat yang tepat (jembatan penyebrangan atau zebra cross) pun mereka tidak mampu. Bagaimana mungkin mereka membahas masalah korupsi yang begitu besar sementara mereka tidak bisa menjalankan hidup mereka sendiri sesuai aturan? Tapi yang paling mengherankan adalah ketika UI memiliki slogan “use public transportation to reduce air pollution” yang terpampang besar di tiap bis kuning, namun rector, dekan, dan petinggi lainnya tidak pernah terliha menggunakan fasilitas tersebut! Miris, menyedihkan, memalukan, bahkan MUNAFIK!
Mungkin saya terlalu tidak terhormat untuk membuat tulisan ini, namun ada banyak orang di luar sana yang sangat ingin berkuliah setinggi mungkin, tapi mereka tidak punya biaya. Ada banyak orang yang berkualitas di luar sana tapi mereka tidak memiliki dana, informasi yang cukup, dan juga kemudahan telekomunikasi. Sementara itu, mereka yang di kota tidak pernah peduli dengan segala masalah itu. Mereka justru lebih sibuk dengan kegiatan sehari-hari dan tidak perduli dengan dampak tidak langsung dari korupsi. Tapi begini dengan peduli pada korupsi, dengan mulai mempraktekkan anti korupsi dari hal terkecil di sekitar anda, itu berarti anda turut serta dalam mengembalikan kebanggan Indonesia sebagai Macan Asia!
Seorang teman saya, dari sebuah kota di pinggiran Sumatra Utara, Azhar namanya, dia pernah bertanya kepada saya, seberapa besar biaya untuk kuliah di UI? Biaya kuliahnya? Biaya hidup? Ayah saya hanya berpenghasilan 1,5 juta rupiah tiap bulan. Saya tidak bisa menjawab hal itu, karena beberapa minggu sebelum Azhar bertanya, teman seangkatan saya ada yang baru saja keluar dari UI karena ketidak mampuan membayar biaya pendidikan, apakah UI memang Universitas (semi) Negri?
Mungkin saya terlalu jauh apabila membandingkan Indonesia dengan jepang, tapi lihatlah apa yang dicari kaisar Jepang sesaat setelah Jepang di Bom atom oleh amerika? Ya betul sekali, ‘berapa banyak guru yang masih tersisa?’ Karena ada banyak sumberdaya yang dimiliki oleh negara, namun tidak ada yang bisa lebih berharga selain sumber daya manusia. Indonesia sendiri saat ini hanyalah macan yang terlelap. Ya betul sekali, sangat lelap dan bahkan rakyat seperti terlupa kalau kita pernah menjadi macan. Sekarang semua lupa dengan pentingnya kepedulian dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi. :D
Pemerataan pembangungan di Indonesia ini juga sangat menyedihkan! Lihatlah bagaimana mewah dan megahnya bangunan sekolah di Jakarta, sementara di berbagai daerah masih banyak seolah yang fondasinya lapuk dan masih beralaskan tanah, bagaimana tidak, dana dari pusat itu ‘disunat’ banyak pihak. Mulai dari pejabat negara, anggota DPR, Kepala daerah, kepala dinas, Pimpinan insititusi pendidikan, akhirnya justru hanya sedikit yang benar-benar dipergunakan. Tapi justru disitulah peluang kita untuk berbuat sesuatu, bukankah ada yang bilang apabila seseorang tertekan, ia akan mengeluarkan kemampuannya lebih besar dari biasanya.
Semoga Tulisan saya ini bisa sedikit menggelitik anda untuk membangkitkan macan tidur itu. hehehe
Komentar
Posting Komentar