Egalite

Hai, udah sebulan lebih ngga ngeblog post, setelah kemaren galau-galauan bahas Mira, sekarang mau bahas tema lain.. Hmm, kali ini mau bahas soal kompas, masalah Egalitarian, kemudian soal perempuan dan gender :D

Tanggal 16-17 Desember kemarin, saya dan teman-teman Kompas MuDA mengadakan event Investo-Investasikan Energimu untuk Bumi, event pertama Volunteer Batch 4 yang (menurut saya) sebenarnya bermasalah banget karena para volunteer masih belum mengenal kepribadian (watak) satu sama lain. Tapi overall, superb banget hasil kerja keras selama sebulan lebih dikit itu.
Mau share sedikit sih soal kegiatan ini, ada banyak tanda Tanya di benak saya ketika awal mula memegang project ini. Mulai dari Venue yang ngga pasti, Bintang tamu yang berubah mendadak, tim yang sedikit dipaksakan untuk ngeblend dalam waktu singkat, anak-anak ngga kenal yang namanya Term of Reference (TOR) dan masih banyak lagi.
Sebenarnya sih bukan itu yang mau saya bahas, acaranya berjalan dengan luar biasa sukses kok, Cuma ada beberapa konsep yang perlu kita ‘celotehi’ lebih lanjut.
Konsep Egalitarian
“My Work, My Life, My Achievement”
Mungkin slogan seperti itu jarang terdengar, “Hidupku, Perkejaanku, Pencapaianku” karena memang saya bikin iseng-iseng doang sih sebenarnya hehe. Tapi slogan itu (yang menurut saya), artinya, untuk meraih sebuah pencapaian besar dalam pekerjaan, kita butuh sebuah proses pengerjaan yang sesuai dengan kehidupan normal sehari-hari. Kalau kata mas bambang (dosen PR Ethics saya) tadi siang di kantor beliau di kawasan senayan, “kita bisa lakukan pekerjaan kita dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi yang bagaimanapun, yang penting adalah hasilnya bukan prosesnya”. Menurut saya, pun demikian (kalau bisa) diterapkan dalam konsep Volunteerism yang sedang dijalankan di sebuah kantor.
Saya sangat terkejut ketika ada beberapa orang yang secara jujur mengatakan “ini anak baru, bla bla bla” atau mungkin “tapi kan gue lebih senior dari elu”. Jujur, kalimat-kalimat seperti itu terkesan lucu dan (jujur) berpeluang untuk sangat merendahkan mereka, siapapun yang menyatakan hal tersebut. Saya mungkin bisa memahami kalau ada konsep bahwa ‘senior tidak pernah salah’, tapi bukan berarti ‘senior selalu lebih baik dari junior’, kan?
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, tapi memang menjadi Volunteer  bukanlah pengalaman pertama saya untuk turut serta menjadi penyelenggara acara, sebelumnya sudah ada Olimpiade UI 2010, Konferensi Mahasiswa Indonesia UI 2011, Speakfest 2011, yang sudah pernah saya bantu selenggarakan (walau tidak mengambil peranan yang cukup besar). Mungkin, kalaupun ada istilah senior-junior, yang paling membedakan hanyalah pengetahuan para senior tentang kultur perusahaan. Pastinya, tiap perusahaan memiliki kultur sendiri yang tidak bisa disamakan dengan perususahaan/organisasi lainnya.
Sebelum terjun di kantor tersebut, saya sudah terlebih dulu bergabung bersama ClubSPEAK, Yayasan AIDS Indonesia, dan UNESCO Youth Desk, sehingga saya sebenarnya sudah bisa mengerti bahwa tiap institusi memiliki karakteristik dan pola kerja yang berbeda. Namun, di YAI, SPEAK, dan UYD, saya memiliki kenyamanan karena ada kesetaraan antara Koordinator (pimpinan), dengan saya (staff). Beberapa rekan yang saya tanyai, pernah menyatakan bahwa dalam pekerjaan, mungkin saja anda sudah lama berkecimpung di bidang tersebut, tapi bukan berarti anda lebih memiliki kemampuan yang lebih dari si ‘anak baru’ itu.
Butuh contoh konkrit? Misalnya saja ketika Juan Mata yang masih berusia 23 tahun, datang ke Chelsea, namun sebagai pemain baru Ia justru berhasil menggantikan peran Florent Malouda atau Frank Lampard, dua pemain yang telah berusia diatas 30 tahun (lebih tua dari dia) dan jauh lebih dulu menjadi Icon di Chelsea. So, usia dan senioritas means nothing, skill dan pengalaman berbicara lebih banyak! Sepenting itukah membahas senioritas, dan mentabukan kesetaraan antara senior-junior?
Sebenarnya, hal itu hanya sikap sebagian kecil oknum, karena ada banyak kok yang bisa benar-benar membumi dengan para junior, angkat topi buat kaliang geng. (^_^). Tapi sekali lagi, kalau boleh berpesan, semoga konsep egalitarian bisa menjadi dasar bagi kita untuk menjalankan semua program, karena sekali lagi “age means nothing, but skill and experience are everything”.
Pakaian Minim Artinya Tidak Sopan
“Kami hanya ingin beritahukan, tadi kami dititipi pesan oleh seorang petinggi kampus, kalau bisa untuk besok MC nya mengenakan pakaian yang lebih tertutup, agar terlihat lebih sopan”
Pernyataan yang diucapkan oleh seorang teman, pada kegiatan di sebuah kampus, menyentak saya pada malam itu. Betul sekali, saya terkejut dengan sempitnya pandangan seorang petinggi kampus Negeri di Indonesia tentang konsep sopan santun.
“Tertutup maka sopan, terbuka maka tidak sopan”
Sebuah pandangan yang terlalu sempit tentang konsep kesopanan, terlebih konsep ini jauh lebih ditekankan pada wanita. Masih teringat di benak saya, bagaimana Mira Namira, head of Program development NYOCAP menyatakan “Kenapa sih perempuan kalau kebuka dikit aja, jadi masalah. Liat deh laki-laki, telanjang dada juga ngga ada yang repot.”
Sopan santun, sebenarnya lebih bisa dimaknai sebagai “sikap menghargai dan dan berempati pada orang lain”. konsep sopan santun ini pun, sebenarnya tidak terlalu bisa dikaitkan dengan cara berpakaian. Sebab, sopan santun ini sendiri memiliki korelasi dengan untung-rugi. Artinya, bila sopan akan menguntungkan, bila tidak sopan maka merugikan. Siapapun yang dirugikan/diuntungkan intinya terkait lah yaa..
Sekarang begini, kenapa kita harus menilai pakaian tertutup itu sopan dan terbuka itu tidak sopan? Pernah dengar daerah yang menerapkan Peraturan Daerah yang mewajibkan para wanita di daerah tersebut untuk menutup seluruh auratnya (Kecuali yang non muslim) ? pertanyaan saya, apakah dengan mengenakan pakaian yang ‘dianggap’ sopan bisa meningkatkan Taraf hidup rakyat? Atau setidaknya bisa menaikkan moral masyarakat luas, bisakah? Saya rasa tidak, bahkan dampaknya justru kita tidak bisa membedakan yang mana Pekerja Seks yang mana bukan, karena apa? Karena para wanita pekerja seks juga menutup seluruh bagian tubuhnya, ketika tidak sedang bertransaksi dengan klien.
Pertanyaan selanjutnya, apakah mengenakan pakaian terbuka merugikan orang lain? Konsep “kebebasan berpakaian” dan “kebebasan menganggap orang berpakaian terbuka sebagai tidak sopan” adalah pergesekan antara dua hak asasi manusia, yaitu freedom of expression dan freedom of thought! Tapi disini yang mau saya garis bawahi adalah, anda memiliki hak untuk protes apabila Hak seseorang merugikan hak yang anda miliki.
Pertanyaan saya, apakah kebebasan berpakaian merugikan orang lain? perlu diingat bahwa pakaian tersebut hanya melekat di tubuh sang empuya, dan kalau kemudian dikaitkan dengan ‘memberi dampak negative pada mahasiswa kami’ maka jelas itu bukanlah dampak negative pemakaian pakaian minim, tapi lebih karena mahasiswa sebagian besar telah berusia lebih dari 18 tahun dan memiliki kemampuan untuk memilih fashion sesuai dengan keinginan mereka. Kalau kemudian pakaian mini dianggap merangsang orang lain untuk berbuat pelecehan seksual, nah disitulah masalahnya, si pelaku seksual memiliki hak untuk melihat ‘pemandangan’ tapi ketika dia telah merugikan orang lain dengan melakukan peleceha seksual, artinya ia telah menimbulkan kerugian atas HAM orang lain So, kebebasan berpakaian tidak menimbulkan masalah apapun toh, kecuali bagi mereka yang berpikiran mesum?
Lantas bagaimana dengan “kebebasan menganggap orang berpakaian terbuka sebagai tidak sopan” ? jelas ini sudah menciderai hak seseorang, karena sudah melekatkan stigma negative terhadap orang yang sama sekali tidak merugikan haknya! Jelas tiap orang boleh memiliki pandangan sendiri terhadap sesuatu hal, Karena itu freedom of thought, tapi tentu saja, yang namanya pemikiran itu harusnya disimpan sendiri di benak pribadi. Sebab kalau sudah diucapkan, maka akan berubah menjadi ‘statement’ ‘opini’ atau ‘hipotesa’ bukan lagi ‘thought’.
Saya juga sangat menyoroti pemahaman seksi di masyarakat lebih mengarah ke ‘fisik perempuan’. Jadi kalau wanita dengan pakaian ketat dan organ yang terlihat disana sini bisa dikatakan seksi. Lantas bagaimana dengan pria? Mengapa wanita seksi dianggap tidak sopan, bahkan lebih dari itu, dianggap ‘tidak pantas dipertunjukkan di depan umum’. Lantas, bagaimana yang mau dipertunjukkan di depan umum? Yang penuh borok, kudis, panu, atau bagaimana? Yaaa masyarakat pastinya lebih tau dalam menilai, sekian.
-Salam hormat, dari sang pengagum Israel-

Komentar