Tulisan ini berawal dari wisuda
seorang rekan saya di Suara Pemuda Antikorupsi, Ismi, ketika itu setelah
upacara wisuda yang berlangsung di Balairung Universitas Indonesia. Saya
berbicara dengan Danar, “Nar, liat mata gue, gue nangis!” Hening sejenak, kami
kemudian saling menatap. Hingga akhirnya sebaris kata saya ucapkan lagi,
“diarah jam 2, ada sebuah keluarga yang datang untuk merayakan wisuda anaknya.”
Sore itu, saya sedang
membicarakan tentang segerombolan orang, sepertinya sekeluarga. Tanpa kebaya
mahal yang membalut tubuh sang Ibu dari wisudawan, tanpa kain sutra yang
membalut bahu sang ibu. Hanya seperangkat pakaian lusuh yang menutupi tubuh
tuanya, namun saya melihat raut gembira dari wajah seluruh anggota keluarga
itu. Gembira karena seorang anggota keluarganya telah lulus dari Universitas
Indonesia, Universitas terbaik di negeri ini. Universitas yang telah beralih
dari mengabdi untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa, menjadi sebuah
institusi jasa yang memiliki harga untuk setiap ilmu yang mereka berikan.
“Can you imagine, Nar, orang
seangkuh gue bisa nangis ngelihat keluarga semiskin itu bisa tersenyum bahagia
karena ada seorang anggota kelaurganya yang telah menjadi sarjana dari kampus
terbaik di negeri ini?” kataku sambil mengusap air mata yang menetes dari kedua
mataku.
“Lo sekarang udah tau kan gi,
kenapa gue bilang pendidikan itu hak warga negara, bukan jasa. Karena hal
penting dari pendidikan adalah gimana orang ngga mampu kaya mereka, bisa
mendapat kesempatan yang sama dengan orang kaya buat dapat pendidikan terbaik
di negeri ini!” Kata-kata Danar yang sampai kini selalu memberikan sebuah
senyuman kepada saya setiap kali melihat anak orang kaya yang tidak menyadari
betapa mahalnya pendidikan.
Student Unit Cost, sebuah analogi sakti yang menunjukkan bagaimana
pendidikan yang dirasakan oleh setiap rakyat, yang dijanjikan oleh negara dalam
Undang-undang dasar, kini telah menjadikan uang dan bayaran sebagai salah satu
parameter di Universitas Indonesia. Orang kita seolah sudah lupa bahwa tujuan
berdirinya negara kita adalah untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Lantas
kenapa harus ada harga sedemikian tinggi yang ditetapkan oleh para abdi negara
(sebutan saya bagi para birokrat UI), untuk mewujudkan salah satu cita-cita negara
yang telah dimandatkan oleh pembukaan UUD 1945? Well, hanya Tuhan yang tau apa
yang ada di pikiran para birokrat kita.
UI mungkin memang telah semakin
bertransformasi menjadi sebuah kampus beken bertaraf dunia, yes, World Class
University. Tapi omong kosong macam apa yang kemudian membuat saya harus
percaya bahwa taraf, gengsi, pamor, dan label, jauh lebih penting daripada
memberikan kesempatan bagi orang miskin untuk dapat kesempatan mencicipi
pendidikan berkualitas? Kita (yang berkecukupan) punya kewajiban untuk beri
mereka (yang kurang beruntung) kesetaraan dengan kita dalam hal pendidikan!
Terima kasih kepada saudara
Gumilar Roesliwa Sumantri yang telah membangun Universitas Indonesia sedemikian
besar dan megah. Terima kasih atas perpustakaan pusat yang begitu megah secara
fisik, namun masih membutuhkan sebuah toko buku impor untuk menopang
ketersediaan buku yang belum tentu dimiliki oleh Universitas. Terima kasih untuk
bis kuning yang begitu nyaman dan membuat para mahasiswa tidak pernah merasakan
betapa beratnya berjalan kaki menempuh jarak sedemikian jauh hanya untuk
mendapat pendidikan seperti yang dirasakan teman-teman di perbatasan Indonesia.
Terima kasih untuk AC, Projector, Wifi, dan berbagai Cafe yang membuat ribuan
mahasiswa semakin tidak sadar bahwa generasi muda kita butuh lebih dari sekedar
kerja keras untuk menunjukkan kedaulatan kita atas bangsa sendiri.
Saya percaya bahwa di dunia pendidikan kita semua membutuhkan
fasilitas, membutuhkan kemudahan, membutuhkan akses, membutuhkan free pass untuk mempermudah kita mencapai keinginan dan impian yang ingin kita raih. Tapi, saya juga
percaya bahwa kita juga membutuhkan sesuatu hal yang seringkali gagal kita
laksanakan dengan baik. Jangan pernah lupakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebaris kata yang
mungkin berkali-kali gagal dijalankan dengan baik oleh berbagai pihak.
Sore itu, ya sore itu! Tepat pada
wisuda Ismi, saya yang seringkali bergerak cepat dan lambat berpikir, akhirnya
bisa menyepakati pendapat Danar yang seringkali banyak berpikir dan lambat
bergerak. Setelah banyak perdebatan yang sering saya dan Danar lakukan,
perdebatan antara dua orang berbeda pemikiran, kami akhirnya bersama sepakat
bahwa pendidikan adalah salah satu hal utama yang perlu kita pikirkan bersama.
Tentang pendidikan sebagai sebuah elevator kesejahteraan segenap bangsa
Indonesia. Juga sebagai sebuah cita-cita luhur yang telah dipikirkan sedari
awal bangsa ini berdiri oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Bukankah kita semua memiliki hak
untuk menikmati pendidikan? Mendapat kesempatan untuk mencicipi sang eskalator
kesejahteraan? Lantas, mengapa kita harus bicara harga? Ketika Gita Wirjawan
percaya bahwa seharusnya dan selayaknya kita bisa memberikan lebih dari cukup
biaya untuk pendidikan dengan penggunaan 20% anggaran APBN.
Mari kita berpikir . . . . .
Komentar
Posting Komentar