Tentang Senyum dan Sebuah Pelukan Hangat


“elaine_tn: In this world, it's not merely Good Cop VS Bad Cop, Good VS Bad.
Don't u think the good has it's bad and the bad has it's good?”

Kita memang tidak sedang membahas soal siapa yang menjadi orang baik, dan siapa yang menjadi orang jahat. Kita hanya membahas tentang bagaimana aspek kemanusiaan tetap dipertahankan, ketika aspek bisnis telah menjadi raja atas banyak hal. Business is business, adalah sebuah ungkapan kapitalis yang memang sangat baik untuk menjalankan sebuah corporate, tapi jangan pernah lupa bahwa ada aspek human relations yang harus tetap kita perhatikan dalam menjalankan roda perusahaan. That’s why kita mengenal sesuatu yang disebut Business Ethics.

Pertanyaan cerdasnya bukanlah soal siapa yang benar dan siapa yang salah,
Tapi bagaimana memperbaiki situasi tanpa harus melukai salah satu pihak!

Tanah itu memang milik negara yang kebetulan dikelola oleh PT KAI, para pemilik kios memang tidak memiliki hak untuk menuntut agar mereka diberi kesempatan lebih lama berjualan disitu. Tapi, mereka memiliki hak untuk setidaknya menuntut adanya dialog. Ibaratnya, agar mereka yang memiliki tanah ‘ucapkan salam’ sebelum mengusir para peminjam, yang memang sebenarnya sudah cukup tau diri kalau mereka hanya ‘menumpang’. Bukan berarti, ketika seseorang berperilaku kurang ajar kepada kita, kita berhak untuk memberikan efek yang murni sama perihnya dengan yang kita rasakan. Tidak selamanya aksi dan reaksi harus setara, terutama dalam ilmu sosial. Beberapa pengecualian khusus tidaklah boleh luput dari pengamatan kita!

From http://www.guardian.co.uk/global-development/poverty-matters/2011/mar/17/what-poor-people-want


Seperti halnya mereka yang tinggal di bantaran sungai, mereka jelas merupakan masalah sosial dan mengganggu keindahan tata ruang / tata kota. Kalau kita bertanya pada mereka, tentu kita akan menyadari bahwa mereka tetap bertahan disana karena memang tidak punya pilihan. Karena pemerintah tidak mampu mengatasi permasalahan sosial, tidak bisa menyediakan lapangan kerja, bahkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah sebuah sajak singkat dari puisi 5 baris yang selalu kita bacakan setiap hari senin saat upacara bendera. Begitu juga dengan orang menengah kita yang menutup mata dan telinga dengan situasi kelas bawah yang semakin lama semakin terpuruk. Lantas, siapa yang mau mendengar mereka? Mungkin hanya Tuhan yang tetap setia memantau kepedihan mereka, disaat Presiden sibuk dengan ‘blusukan’ nya dan kelas menengah kita masih asik menggenggam smartphone-nya untuk memantau linimasa, atau melihat update terbaru di instagram dan path. Lantas, rakyat miskin dan anak terlantar itu tanggung jawab siapa? Masa iya kita jawab: "tanggung jawab Tuhan yang maha esa, yang wujudnya saya ndak pernah lihat itu!" 

Mungkin, seharusnya memang mereka (kelas bawah, orang kecil, gembel, atau apalah itu!) menjadi tanggung jawab semua pihak. 
Ada kalanya, kita harus duduk sejenak untuk merenung, memaknai apa yang terjadi dan menyadari bahwa kita harus lebih lunak menghadapi mereka yang memang butuh ‘perhatian khusus’ untuk mengerti apa yang kita harapkan. Bukan soal benar atau salah, baik atau buruk, tapi soal bagaimana kita bernegosiasi dengan orang lain, agar tujuan utama bisa tercapai tanpa harus melukai pihak manapun! Kita kelak akan belajar menjadi negosiator, mediator, dan bahkan fasilitator. Karena perubahan sosial, bukan hanya soal angka dan logika, melainkan juga soal bagaimana membuat orang lain menyadari kesalahannya, tanpa harus membentak atau melukai mereka. Senyum adalah alternatif terbaik, dan pelukan hangat para pemimpin adalah sesuatu yang dirindukan bangsa ini.


Permasalahan sosial selalu menghasilkan sebuah opini yang dilematis,
bahwa dalam beberapa kasus mereka melakukan kesalahan prosedural, tak bisa kita bantah.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menghargai mereka,
dan membuat mereka mampu menyadari kesalahan mereka tanpa harus kita tegur dengan kasar?
Memanusiakan manusia, dengan sebuah senyuman dan pelukan hangat!

From http://www.flickr.com/photos/mac2772/5206539275/

Mari kita bersepakat dengan sebuah pertanyaan sekaligus konklusi 'bagaimana kalau mereka (yang selama ini kita lihat melihat pedangang) mencarikan alternatif tempat saja untuk para pedagang, bukan justru meminta PT KAI untuk memikirkan bagaimana masa depan mereka yang kiosnya digusur?' Karena sekali lagi, PT KAI memang secara tupoksi tidaklah memiliki kewajiban untuk memikirkan aspek sosial dari masyarakat. Itukan tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab sebuah BUMN yang tengah berdarah-darah menghadapi berbagai permasalahan internal - eksternal, dan berjuang keras untuk mencatatkan laba pertama kali sepanjang sejarah berdirinya BUMN tersebut!

Selamat pagi, saat ini pukul 3.55 di tanggal 6 Januari 2013 ketika saya selesaikan tulisan ini.

Komentar