Perbedaan itu apa sih?
Perbedaan itu hanyalah sekadar
ketidaksamaan pemahaman atau pengartian, tentang sesuatu hal yang sebenarnya
mungkin sama namun dilihat dari sudut pandang berbeda. Ibaratnya, kita menonton
bola, dari tribun yang berbeda, maka akan menampilkan visual yang berbeda pula
Waktu saya kecil, saya pernah bermain dengan teman yang beragama islam. Ketika
itu, di pedalaman Kalimantan, mungkin daerah antah berantah yang belum ada di
peta, sehingga wajar bila peradaban disana juga belum berkembang. Ketika itu,
saat bermain dengan seorang bocah kecil berbaju koko, Ibunya menyatakan pada bocah
kecil itu sambil berbisik, “Jangan main sama orang Kristen, mereka makan babi”.
Perkataan itu masih membekas di benak saya hingga saat ini, karena saya tidak
suka membedakan orang dengan sudut pandang agama atau keyakinan.
Karena apa?
Karena kita memang tidak sepenuhnya bisa memilih agama dan keyakinan, terutama
di Indonesia! Kita lahir dengan agama Ibu – Bapak Kita, dan otomatis beragama
sama dengan mereka. Ketika sudah besar, dan memilih berpindah agama, sebagian
besar orang pati akan mendapat tekanan dari lingkungannya, antara kafir,
murtad, atau apalah! Perkataan ibu dari anak berbaju koko itu bahkan membuat saya bertanya, yang haram itu Babi-nya atau saya? Atau jangan-jangan si Ibu itu menganggap saya babi? :))
“kita ngga selalu bisa milih sama
atau beda,
tapi kadang kita bisa milih mempermasalahkan
perbedaan itu atau ngga.”
Ada banyak hal yang terbawa oleh kita sejak lahir dan kita tidak bisa
pilih, bukankah itu merupakan sebuah gift yang Tuhan titipkan pada kita?
Sepertih halnya kita tidak bisa memilih terlahir Islam atau Kristen, Indonesia
atau Amerika, Laki-laki atau perempuan. Bukankah Tuhan sang empunya memang
memiliki skenario sendiri sehingga menempatkan kita di peranan yang saat ini
kita jalani, dan kita sebagai ciptaanNya mungkin memang akan lebih baik kalau
menjalani skenario tersebut sesuai arahan sutradara. Tapi, dalam beberapa
situasi, kita memang harus mahir berimprovisasi agar film yang sedang kita buat
bisa terlihat lebih nice dan bisa
memukau penonton. Kenapa sih, kita harus bicara tentang perbedaan warna baju
yang kita kenakan, kalau toh sebenarnya kita semua sadar kalau kita lahir dalam
keadaan telanjang dan toh bila mati nanti pakaian (bahkan daging) akan termakan
zaman, hanya meninggalkan belulang!
Mari kita bicara sedikit lebih serius tentang pengusiran syiah di
Sampang, Madura, yang direlokasi ke Sidoarjo. Apakah mereka sedemikian berbeda
dengan kaum muslim lain yang berada di Sampang, sehingga mereka harus
direlokasi ke daerah lain. Padahal, mereka lahir dan besar di tanah Madura,
bersama dengan sanak-saudaranya, berbagi kasih dengan masyarakat sekitar. Mengapa
mereka terusir dari rumah mereka, hanya karena keyakinan yang sebenarnya
merupakan sebuah gift dari Tuhan
semesta alam? Memilih agama, keyakinan, kepercayaan, berbeda dengan memilih
baju atau bahkan sepatu. Bila bosan, bisa ganti! Agama adalah sebuah pedoman
kehidupan, yang tidak hanya bicara soal pemenuhan tata cara peribadatan, namun
juga soal bagaimana membuat kita manusia sebagai mahluk ciptaanNya, bisa
menjadi lebih baik, dan semakin berguna juga tolong menolong kepada sesamanya.
“Sunni saja berkonflik dengan
syiah, apalagi Kristen dengan Islam. Tapi kita harusnya menilik sebuah konflik
dengan bijak, agar tidak menyerang pihak lawan dengan alasan konyol. Fokuslah
pada bagaimana membuat perdamaian dan memberikan dampak yang lebih positif bagi
setiap pihak yang terlibat.”
Konflik antar agama, bukan berarti konflik antar Tuhan. Konflik antar
agama justru menunjukkan kepada kita tentang kelemahan manusia sebagai mahluk
yang mendahulukan ego dan lupa bahwa setiap kehidupan adalah proses untuk
mengerti orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia suka sekali men-judge
sesamanya. Saya juga begitu, sangat mudah menjudge orang lain, dan terkadang
terlalu dalam dan menohok. Tapi bagi saya, menjudge adalah sebuah proses
mengerti dan memahami. Setelah menilai, saya akan memikirkan bagaimana saya
bisa memenuhi kekurangan orang yang saya judge,
dan memaksimalkan potensi yang mungkin timbul dari kelebihannya. Karena demikianlah
hidup, kita menjudge seharusnya bukan
untuk menghina dan menjelek-jelekkan, tapi untuk mengerti setiap orang di
sekitar kita dan membuat sebuah situasi yang lebih baik.
Konflik syiah dan sunni di Sampang, menunjukkan kepada kita bahwa bahkan
para pemuka agama pun gagal menunjukkan bagaimana cara membawa kebaikan bagi
umatnya. Para pemuka agama kita, justru lebih mendahulukan ego masing-masing
untuk menyelesaikan masalah. Kenapa kita harus memperdebatkan berbagai
perbedaan kalau toh kelak di Surga nanti Tuhan lah yang akan menjadi pengadil,
iya kan? Agama memang menjadi alat propaganda termudah untuk mengedepankan ego,
semudah itu karena orang kita terlalu konservatif dan lupa menggunakan logika
dalam melihat sebuah kasus. Influencer ternama macam pemuka agama (Kyai,
Pendeta, dll), seringkali melupakan esensi agama sebagai tujuan perdamaian dunia.
Buat apa memperbanyak umat, kalau toh banyak umat tidak bisa diberi
kesejahteraan.
Banyak agama terlalu fokus pada menyebarkan agamanya (Syiar atau missionaris),
tapi lupa bahwa ada banyak sekali umatnya yang telah terlebih dahulu menganut
agama tersebut terjebak dalam kemisikan, kebodohan, dan keterbelakangan yang
harusnya bisa diperkuat tapi malah diabaikan. Bisakah saya tersenyum melihat
para pemuka agama yang menargetkan umat sebanyak-banyaknya tapi tidak
memikirkan bagaimana mensejahterakan umat? Sayangnya, agama bagiku bukan hanya
sekedar kuantitif, tapi juga kualitatif. Kita tidak bicara soal banyaknya
pemeluk, tapi soal bagaimana menjamin cinta kasih bisa disebarkan oleh tiap
pribadi tanpa harus mendahulukan ego. Menurut kamu, bagian mana yang lucu ketika beberapa pemuka agama tinggal di rumah mewah, tapi umatnya menderita sengsara diatas kemiskinan?
Lantas, bagaimana dengan penulis?
Saya terlahir sebagai seorang Kristen, setidaknya demikianlah bila kita
merunut pada hukum bahwa seorang anak secara otomatis akan menganut agama yang
dipercaya oleh orang tuanya. Tapi suruh siapa, ayah menyekolahkan saya di
Sekolah Katolik, Buddhis, dan Sekolah negeri yang hanya ada pelajaran agama Islam
nya? Saya kemudian belajar tentang Doa Rosario, Tasbih, dan Meditasi ala Buddhism,
dan saya mendapati ketenangan ketika saya mencintai ketiganya tanpa harus
dikotori oleh tafsir yang dibumbui oleh iri dengki. Perang Salib sudah
berabad-abad berlalu, dan hingga kini belum selesai juga diperdebatkan.
Perdebatan dengan isu agama, adalah sebuah kesalahan mendasar dari
logika manusia. Perbedaan yang dibawakan oleh antar penganut agama, seharusnya
bukanlah menjadi masalah yang membuat kita menjadi saling membenci. Seperti pelangi
yang berbeda namun Indah, demikian pula agama yang saling melengkapi. Melihat perdebatan
agama, seolah menonton sebuah video satire, yang menunjukkan kebodohan para
pemerannya secara jelas kepada para penonton cerdas, disaat sebagian besar
penonton bodoh justru tertawa atas adegan tersebut.
Bisakah kita membuat sebuah pendekatan yang lebih humanis dalam
mengintepretasikan dan memediasikan konflik agama? Bisakah kita tetap saling
mengasihi dengan berbagai agama yang membedakan? Well, who knows.. J
Komentar
Posting Komentar