God,
in Your majesty, You create
differences
in my arrogance, I question Your
wisdom
in Your mistery, You create
temptation
in my inferiority, You make me
more than I am
so here I am
surrender me in the agony of Your
love
surrender me in the irony of Your
law
lead me to the joy of love
redivined
teach me how to love You more
cin(t)a - 2009
Dalam kehidupan ini, saya sering dikejutkan oleh berbagai hal yang
terjadi secara tiba-tiba. Terkadang saya mendapat hal negatif dalam hidup, tapi
dengan sangat cepat roda kehidupan kemudian mengantarkan saya untuk mendapatkan
sebuah hal positif. Waktu bergulir, menggelending dalam proses pergantian hari
dan membuat diri ini semakin berpikir bahwa setiap peristiwa yang terjadi dalam
hidup ini adalah sebuah proses belajar dan menemukan hal baru. Kali ini saya
ingin bercerita tentang pilihan, dan tentang mencoba menikmati setiap proses
kehidupan.
Beberapa waktu lalu, sekitar akhir 2012 saya terlibat sebuah situasi
romance dengan seorang wanita berkerudung. Bisa dibilang kali ini adalah sebuah
proses yang cenderung positive bagi saya, karena memang saat itu wanita itu
(menurut saya) memberikan respond positif kepada saya. Kami menikmati waktu,
berjalan dengan cepat dalam sebuah percakapan langsung maupun tidak. Hingga suatu
titik saya menanyakan pada Fai tentang perbedaan. Oh iya, namanya Faiqa seorang perempuan yang
saya temui di program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh teman saya,
Alia. Thanks Alia for give me case, so I can
learn a lot from the situation. J
Pertanyaan say tentang perbedaan kemudian dijawab oleh Fai dalam sebuah
blogpost yang bisa diakses di alamat http://bit.ly/bedanyafai
menyentuh sekali, dan sangat religious. Ketika membaca blogpost itu, saya hanya
bisa tersenyum dan menyadari bahwa kisah romansa yang terjalin diantara kami
telah menjadi beban baginya. Saya berpikir tentang sebuah exit strategy yang baik agar dia tidak semakin terlarut dalam
perasaan ini. Mencoba membuat dia berusaha untuk berjalan lagi di jalurnya
tanpa saya.
Lalu, dalam suatu kesempatan, saya mencoba menanyakan bagaimana perasaan
dia ke saya. Hingga kemudian dia menyatakan bahwa ada sesuatu yang ia miliki
untuk saya. Bagaimana dengan saya? Saya menjalankan exit strategy yang telah
saya susun. ‘Sebenarnya dari awal aku
ngga ada apa-apa sama kamu, tapi yah aku pikir dinikmati saja karena saya ngga
mau merusak hubungan professional. Jadi selama ini yah yang aku tunjukin itu
fake doang’. Kira-kira begitulah yang saya ungkapkan pada dia, sebuah
kebohongan yang pasti akan membuat dia sakit, tapi setidaknya dengan rasa sakit
itu dia pasti akan menjauh dari saya.
‘Why did God create us all
differently, if He only wanted to be worshipped in one way?’
‘That’s why God created love, so
all the differences could unite’
Time flies, waktu memang selalu begitu cepat bergerak ketika kita sedang
berharap diberi sedikit waktu untuk diam dan merenung. Hingga beberapa waktu
kemudian aku merasa aku salah telah melakukan kebohongan kepada Fai. Aku ketika
itu merasa bahwa tidak mungkin bisa menjalin sesuatu dengan wanita berkerudung
yang bedanya sudah begitu jelas bahkan bagaimanapun berusaha untuk don’t judge a book from it’s cover tapi
kalau dua orang gandengan dan yang satu kerudungan yang satu pake kalung salib
kan monyet aja bakalan koprol!
Ketika itu, saya masih 19 tahun sih, masih teenagers, jadi pemikirannya
beda sama sekarang pas udah 20 tahun! Waktu si penjawab segala keraguan yang
lebih bisa menjawab dari google, memang betul-betul menjawab kesaktiannya. Waktu
menuntun saya pada berbagai situasi dan pembelajaran yang akhirnya membuat saya
sadar kalau apa yang saya nyatakan dan lakukan pada Faiqa beberapa waktu lalu
itu jahat sekali. saya seolah tidak memikirkan perasaan dia yang memang sejak
awal saya sudah tau kalau dia lumayan sensitif.
Memang betul kami berbeda, memang betul keyakinan memisahkan, siapa
bilang salah? Tapi bukankah cinta itu memang dengan begonya nongol disaat kita
ngga mengharapkan, dan bahkan dia pergi kadang disaat kita tidak mengira. Bukankah
kita tidak bisa memilih kapan cinta datang dan pergi, kepada siapa cinta itu hadir
dan siapa yang beruntung bisa kita cintai? Mengapa tidak kemudian kita
menikmati waktu sebagai bagian dari proses bertumbuh. Bukankah ketika itu saya
masih 19 tahun, dan mungkin masih ada 3 – 6 tahun untuk bersahabat, yang jelas memiliki konteks berbeda dengan sebuah
hubungan serius kearah pernikahan? Bukan berarti saya cenderung lebih suka
memilih untuk menjalin hubungan yang tidak serius, tapi kan memang masih ada
banyak waktu!
Saya merasa bersalah telah menyia-nyiakan perhatian yang diberikan oleh
seseorang dan membalasnya dengan kebohongan yang menyakitkan. Ketakutan akan
perbedaan membuat kita tidak berhasil menjadi keran berkat bagi orang lain yang
mungkin saja bisa kita kembangkan dalam proses kebersamaan ditemani oleh waktu
yang terus bergulir. Setiap orang berhak untuk berbahagia, perbedaan itu
hanyalah soal perspektif padahal sebenarnya kadang memang sama sekali tidak
berbeda. Bila semua bisa berintegrasi dan bersinergi, kenapa kita harus ribut
soal perbedaan?
Menurut kamu, Tuhan lebih cinta
siapa? Aku yang mungkin bisa menjadi pelengkap hari-harimu, atau seseorang
seiman yang mungkin tidak lebih baik dariku? Apakah Tuhan akan marah melihat
anaknya sedang bersenda gurau dalam kebahagiaan (walau dalam perbedaan).
Cinta beda agama itu bukan cobaan, bukan juga dosa. Tuhan mana yang kita
khianati? Tuhan yang ingin kita menjadi invidu yang lebih baik itu pasti tidak
akan marah bila kita mencintai orang yang walaupun berbeda agama dengan kita
tapi bisa mengisi berbagai hal yang memang kita butuhkan. Mungkinkah kita masuk
neraka karena kita berpegang pada Ia yang bisa arahkan kita ke arah yang lebih
baik? Apakah Tuhan sang pribadi sederhana yang selalu mengerti kekurangan
umatnya akan marah, ketika kita mencoba melengkapi diri dengan ia yang mungkin
hanya sedikit berbeda dengan kita? Apakah kehadiran saya di hidupmu adalah
sebuah cobaan? Saya takut, saya memang berkat yang Tuhan kirim untukmu dalam
menjalani hari kedepan.
In the name of love, there’s no
boundaries, whether it’s religion, culture, gender, and so on. It’s not just
because I support interfaith love, but because I realize that love is (sometimes)
so uncontrolled. No need to explain how painful
the situation is, just enjoy the process
because we never know when God will give us a gift, rite?
Waktu bergulir dan memberi saya banyak pelajaran kehidupan tentang
memaknai perbedaan dalam mencinta. Bila mungkin saya kemudian memilih untuk
bersama dengan seseorang yang berbeda dengan saya secara mutlak, itu pasti
merupakan buah dari sebuah proses pembelajaran panjang yang melibatkan banyak
pihak di masa lalu saya. Mungkin, bukan proses memilihnya yang lama, tapi
proses belajar untuk berani memilih! Proses saya menjadi seorang agnostic pun,
tidak sepenuhnya pilihan dan keinginan saya. Semuanya begitu situasional,
MENURUT NGANA agama apa yang dimiliki seorang pria pecandu narkoba yang suka
main perempuan seperti bapak saya? Indeed,
desire has no religion! Bukan berarti proses memilih itu tidak memberikan
beban, tapi karena hidup adalah proses mengapa tidak kita nikmati saja dulu
semua perbedaan ini sebagai bagian dari proses saling bertumbuh?
Hmm, apa kemudian saya salah telah memiliki sesuatu yang sejak awal saya
tidak bisa pilih? Apa kemudian saya harus bertanggung jawab atas sesuatu yang
memang saya tidak tau bagaimana hal itu bisa melekat pada saya? Saya memang
Kristen, saya tidak akan mengelak bahwa saya menyukai konsep yang dibawa oleh
Yesus, selain kemudian saya juga menyukai Buddhism. Tapi, apakah apakah adil
bila kemudian saya yang agnostic semi Kristen ini harus menanggung beban atas
sesuatu yang sebenarnya gift dari
Tuhan? Saya menyebutnya gift, karena
dari lahir kita tidak bisa memilih terlahir di keluarga yang seperti apa, dan
dengan agama yang mana. J
Bukankah agama itu adalah Jalan
menuju Tuhan sang pencipta semesta?
Bila iya, mengapa kita berdebat
jalan mana untuk mencapai Ia yang maha baik lagi maha penyayang?
Untuk setiap rasa ragu, percayalah bahwa butuh negosiasi dan proses
saling menguatkan yang bisa membuat situasinya membaik. Percayalah, bahwa
sesuatu tidak akan berhasil kalau hanya satu pihak yang berusaha dan tidak
melibatkan pihak lain untuk bisa saling menguatkan. Lalu, bukankah proses
kehidupan adalah proses untuk belajar lebih baik, dan bukankah agama memang
dibuat untuk menjadikan manusia jadi lebih baik? So, kenapa perbedaan-perbedaan
ini membuat kita justru saling menghalangi proses untuk jadi lebih baik?
Saya percaya, bukan berarti karena kita memiliki keyakinan yang berbeda
kita tidak bisa mengambil hal baik yang dimiliki oleh keyakinan lain. Bukankah
kita semua adalah anak dari Adam dan Hawa? Lantas mengapa kita harus saling
merutuk? Saya menjadi seorang agnostic, karena dengan demikian saya tidak punya
interest untuk ambil bagian dari perpecahan dunia yang tercipta karena
perbedaan. Tidak bisakah kita damai dalam perbedaan? Saya lelah lihat ibu –
bapak bertengkar! Pertengkaran yang kemudian membuat saya menjadi orang
positivis, untuk setiap hal dalam hidup hadapi dengan senyum tanpa emosi.
Aku cinta kamu, dan aku ngga suka
kamu ribet dengan perbedaan.
Well, haruskah saya lihat lagi berbagai pertengkaran hanya karena agama
yang katanya pembawa kebaikan itu? Beberapa manusia yang pengetahuannya
dangkal, memang terlalu mudah untuk menjadi korban provokasi agama. J
Sheila on 7 – Takkan Pernah Menyesal
Aku tahu… Kisah ini terasa berat di pundakmu
Aku tahu…Kar’na juga begitu berat di bahuku
Coba sayang… Berhentilah meratapi keadaanku
Jangan pernahMenyerah pada keadaan busuk ini
Reff:
Apapun yang akan terjadi
Tak’kan pernah aku sesali
Bila menjalani semua denganmu
Bila memahami semua denganmu
Aku… Tak’kan pernah menyesal
Daripada memikirkan sesuatu yang emang jawabannya sulit banget, mending
fokus liat kedepan dan menikmati setiap proses yang terjadi yuk! Karena mungkin
dalam setiap ujian yang Tuhan kasih, akan ada bonus yang tersimpan, atau memang
kita lagi mau dapat upgrade skill.
Semoga sih begitu, kalau ngga yah mau gimana lagi? J
Ps: Bicara tentang
cinta tidak rasional, percayalah Vino G Bastian menikah dengan Marsha Timothy
yang lebih tua dan (dulu) berbeda agama dengannya. J
Komentar
Posting Komentar