Tentang Usia
Seorang perempuan berkerudung bertanya padaku tentang usia pada sebuah
siang. Siang itu, dalam perjalanan dari penginapan menuju sebuah tempat di Kota
Pangkalpinang ia bertanya apa pendapatku tentang usianya, “menurut kamu, umur
21 tahun itu udah tua belum sih?”. Sesaat aku berpikir tentang bagaimana
memberi jawaban yang tidak hanya benar tapi juga bisa menghapuskan keraguan. “Menurutmu
21 tahun itu tua? Ya terlepas dari keadaan psikologisnya atau hal lain?”,
perempuan itu mempertegas pertanyaannya.
Aku pun menjawab dengan diplomatis, “Menurutku, selama seseorang masih
suka doraemon, artinya dia masih muda.” Lalu percakapan kami itu pun berlalu,
sambil aku tetap memacu sepeda motor matic yang membawa kami ke sebuah rumah di
sudut Kota Pangkalpinang. Aku terdiam, dan berpikir beberapa waktu lalu tentang
percakapan kami di salah satu pantai pinggiran kota.
“Aku tuh ngga lagi pengen
buru-buru nikah, gi.. Kamu jangan ngira, aku pengen buru-buru.. Aku masih
pengen menikmati hidup aku, tapi emang lingkungan aku mengondisikan demikian.” –
Kamu, di Pantai Pinggir Pangkalpinang, Sabtu 20 Juli 2013
Aku tau rasanya ditekan oleh lingkungan, didorong oleh kebiasaan dan
kebudayaan. Terbiasa mendapat respond positif membuat sebagian orang yang
terbiasa terbang menjadi tidak siap mendengar sindiran dan mendadak dijatuhkan
oleh keadaan. Sebagian orang tidak siap mendengar sindiran, karena mereka
terbiasa mendengar pujian. Tapi bukankah hal itu naïf, seolah kita hanya ingin
dunia terjadi sesuai kehendak kita, tanpa mengingat bahwa tiap kehidupan ini
memang harus dibagikan dengan penghuni lainnya?
bukankah tiap perempuan juga berhak untuk bercita-cita? |
Dalam banyak situasi, aku merasa bahwa semua orang memiliki kebebasan
untuk memilih setiap hal yang terjadi dalam hidup. Pernahkah terpikir kenapa
dalam kesetaraan, banyak wanita harus hidup dengan tekanan yang lebih tinggi
dari seorang pria? Kadang, aku meragukan mengapa banyak hal yang terjadi dalam
hidup ini menjadi begitu bias dari kacamata intelektual.
Kita sadar menikah adalah ibadah, sangat sadar! Tapi percayalah
memberikan anak pendidikan internasional di tempat terbaik, kuliah di luar
negeri, jalan-jalan ke eropa, memiliki rumah yang nyaman dan tidur di tempat
tidur empuk, akses internet yang layak, bukankah semua itu juga ibadah? Mengapa
kita harus mencoba memenuhi satu ibadah, tapi membuat banyak ibadah lainnya
diabaikan? Ada berapa banyak orang yang menikah, tapi tidak bisa memenuhi
berbagai kebutuhan pasca menikah?
Tentang Melihat dari Sudut
Lain
Senin, 22 Juli 2013, saya dan @dinikopi merencanakan sebuah meeting. Ketika
itu, dalam percakapan menanti Dini, saya membicarakan banyak hal dengan Angie
dan Pandu yang merupakan rekan di salah satu project. Ketika itu Angie, seorang
perempuan berusia 27 Tahun yang membagikan banyak hal yang saya tidak pernah
kira ia miliki.
Seperti biasa, saya memulai candaan tentang jodoh, “Patung Bunderan HI
aja punya pasangan kak, masa kamu masing single aja.” Begitulah kira-kira
candaan dengan angie, candaan yang Ia timpali dengan ketertarikannya pada Pria
yang bekerja di bidang Arsitektur, “Cowok arsitek itu keren, artistic, bisa
gambar, terus detail.” Kemudian (seingat saya) dia bilang, “Ngga kaya mantan
suami saya”.
“What?? Are you kidding me?” saya
bertanya setengah shock.. yang kemudian ditimpali ringan oleh Pandu, seorang
teman, “Yes gi, She has a child”.
Kemudian saya berdiam diri, sembari Angie bercerita bagaimana dia
menikah di usia 19, hamil di usia 20, dan melahirkan di usia 21 tahun.
Kehidupan yang berjalan begitu cepat baginya, membuat ia begitu concern pada
isu perempuan. Bisakah kita membayangkan bagaimana dia harus bekerja untuk
menafkahi anaknya? Saya tidak pernah mengira, ada orang di circle saya yang
menikah muda, punya anak, tapi kemudian ternyata gagal, tapi tidak berhenti
sampai disitu, dia masih tersenyum dan tidak membuat siapapun sadar bahwa
mungkin ada beban yang Ia tanggung. Tapi satu hal yang masih membekas di
ingatan saya, “Saya berharap saya bisa kembali ke usia 21 tahun”, kata Angie.
Bukankah waktu berjalan begitu cepat? Setiap hal yang terjadi di masa
kini, merupakan dampak dari keputusan kita di masa lalu. setiap hal di masa
depan, merupakan dampak dari keputusan kita di masa kini. Yaah, that’s life,
dear .. : )
Tentang Tidak Selalu Ada
“Aku ngga mau ke Nikahan mantan
aku, lagian kalau aku kesana aku sama siapa?” – Kamu, di Jalan Gubernuran
Babel, Sabtu 20 Juli 2013.
Pernyataan ini, sedikit menggelitik telinga. Menyadarkan bahwa lautan
memisahkan kita, walau hanya Jawa – Bangka. Tapi, bukankah kita memang harus
selalu membayar setiap hal yang berharga dengan angka yang mahal? Aku merindukanmu,
dan aku mengharapkan kita bisa lebih sering bersama. Tapi aku tau, kadang kita
perlu meneguhkan hati untuk menyadari bahwa ada hal-hal berharga yang memang harus ditunggu
untuk lebih membuat kita semakin mensyukuri keberadaan sesuatu.
Aku mungkin belum bisa menjadi pasangan nyata, yang selalu bisa
dipeluk dan didekap di tiap saat kamu membutuhkan aku. Atau aku emang ngga bisa
nemanin kamu ke bioskop buat nonton film terbaru (yang walau aku tau selama di Pangkalpinang ngga ada bioskop, point ini
ngga akan bisa dilakukan oleh pasangan manapun). Mungkin, suaraku hanya
bisa didengar di speaker telepon genggam dan ngga bisa langsung berbisik di
telingamu, atau kalau perlu teriak!
Conclusion
Bukankah kita tidak seharusnya mempermasalahkan usia, kalau toh ada
banyak sekali mimpi yang ternyata kita belum berhasil capai? Apakah kita harus
lebih memikirkan apa kata orang daripada memikirkan apa yang sebenarnya kita
butuhkan? Mengapa tidak menukar pemikiran negative dengan pertanyaan menarik
seperti, “Kapan kira-kira waktu yang tepat untuk eurotrip?” atau mungkin “Kamu
jadi ikut duta bahasa ngga, kalau ngga kita rencanain aja yuk jalan-jalan ke
Bromonya!”
Aku tau, kamu masih memiliki banyak impian. Aku tau, kamu masih memiliki banyak harapan. Bagiku, aku berada disini memang untuk menemanimu dan membantumu meraih segala mimpi itu. Lalu kenapa harus terburu-buru dalam memikirkan sesuatu yang toh sekalipun ditunda tidak akan terlalu menjadi masalah juga? Kenapa tidak biarkan saja angin membawa kapal ini berlayar ke pelabuhan terdekat, tanpa harus memaksa berlayar dengan mesin yang setengah rusak?
Kenapa harus terlalu sibuk mendengarkan kata orang, kalau toh
orang-orang itu ngga selalu tahu bagaimana menjadi baik. Banyak orang
berkomentar, tapi mereka ternyata tidak berhasil melakukan hal yang lebih baik
dari apa yang kita miliki. Terus, mau gimana? Well, intinya, 21 Tahun itu masih
muda kok, nikmatilah hidupmu buat mengeksplorasi banyak hal yang ada di
sekitarmu..
:))
BalasHapus---Kamu---nya yang komen di atas ya? hihihhihihi
BalasHapus