A Letter About God (1)


Malam tadi, seseorang mengajak berdiskusi tentang agama, dan dalam sebuah percakapan Ia melontarkan pernyataan:

“Kamu punya kepintaran, relasi, achievement. Tapi kalau kamu ngga punya iman buat apa? Kamu bisa ngelakuin banyak hal yang kamu mau, tapi kamu ngga pernah nyoba buat cari tau tentang agama dan keyakinan, buat apa? Sama aja bohong!”

Manusia memang sangat mahir menjudge orang lain tanpa pernah mau tau hal unik yang mungkin membuat sebuah peristiwa terjadi. Mungkin, ini memang dampak nyata dari keterbatasan manusia, dalam merasakan dan memikirkan sesuatu. Kamu pernah, menilai orang buruk, tapi sebenarnya (mungkin) orang itu juga ngga mau ada di situasi buruk itu? Mungkin kamu merasa berhak untuk menilai orang lain, tanpa sadar kalau ada hal lain yang ngga selalu dibuka di ruang publik. Karena apa? Karena publik terlalu suka menilai tanpa bertanya, terlalu suka menginterpretasi tanpa diskusi, berindikasi tanpa memberi kesempatan pihak lain tuk menerangkan.



Aku terlahir dan besar di keluarga yang memang tidak mengajarkanku dengan baik tentang konsep agama. Bagiku, ketidaktahuan tentang agama, sama seperti kebutaan dalam hidup. Ibaratnya, aku sejak lahir memang buta dan tidak bisa melihat, tapi mataku terbuka lebar seolah aku bisa melihat semuanya. Kemudian, dalam suatu kesempatan aku mencoba berjalan tanpa tongkat dan mendadak menabrak tiang bendera yang ada di tengah lapangan, semua orang melihatku dan berkata “bisa liat ngga sih? Masa tiang bendera segede gitu malah ditabrak! Makanya, kalau jalan pake mata jangan kaya orang buta!”.

Mereka mengutukku karena aku tidak tau sesuatu yang memang tidak pernah aku lihat, padahal menurut mereka apa yang mereka lihat itu begitu jelas. Tapi kan aku buta sejak kecil, gimana mungkin aku melihat apa yang mereka lihat. Aku bukan tidak mau tau apa yang mereka lihat dan bagaimana itu begitu indah, tapi memang aku ngga tau apa yang mereka lihat! Aku tidak melihat apa yang orang lain lihat, dan begitulah yang terjadi karena memang Tuhan ciptakan demikian dari awal.

Aku beri contoh lain, tentang kehilangan. Buat sebagian orang, pasti karena dari kecil mereka hidup dengan bapak, moment kehilangan bapak menjadi sebuah moment yang menyedihkan. Tapi, coba kalau misalnya (mungkin) seperti aku yang dari kecil memang tidak pernah punya sosok bapak, dan hingga kini aku tidak tau bagaimana rasanya punya figur bapak. Menurutmu, apakah salah kalau bapak meninggal nanti aku tidak menangis? Bahkan, sorry to say, mungkin sedih atau merasa kehilangan pun tidak!




Kamu tau rasanya ketika lulus SD – SMP – SMA tidak pernah mendapat ucapan selamat dari bapak? Atau bahkan ketika masuk di (salah satu) Kampus terbaik di Indonesia pun, bapak membentak aku karena aku dapat di Program yang mahal, bukan yang murah seperti anak lainnya? Bapak tidak pernah izinkan aku untuk punya ‘bapak normal’ seperti anak lain, tapi bapak selalu menuntut aku jadi ‘anak normal’ lain yang sering ia lihat. Tau apa dia tentang usaha aku buat kuliah di kampus itu? Ah sudahlah, dia pasti ngga pernah tau gimana jungkir baliknya aku belajar sambil tinggal di rumah keluarganya yang irrational itu!

Begitulah agama bagiku, aku tentu ingin belajar agama. Mempelajari apa yang dianggap baik oleh banyak orang, di Indonesia khususnya. Aku ingin menjadi baik, sama dengan yang lain. Tapi, bisakah mengerti bahwa dalam beberapa situasi ada hal yang tidak terelakkan dan mungkin aku tidak seharusnya disalahkan? Seperti agama, bagaimana caranya memilih agama dari lahir? Aku tidak tau bagaimana mengaplikasikan agama dalam gelapnya hidupku, tapi aku ingin belajar, dalam kemerdekaan dan kebebasan untuk memilih. Mengapa kita harus berdebat untuk sesuatu yang bahkan aku tidak tau bagaimana caranya aku memilih agama ini?



Saat ini, dalam proses pencarian ini, aku sedang belajar untuk menggali dan mencari tahu mana yang paling cocok denganku. Agama itu benar semua, pertanyaannya yang mana yang paling sesuai itulah yang dipilih. Karena pemikiran merdeka membuat kita memilih tanpa beban dan tekanan. Kita memiliki kebebasan untuk memilih yang kita mau, dan kelak akan memegang teguh apa yang kita pilih itu.


“Beruntungnya, ibu cukup terbuka! Ia mengizinkan aku untuk memilih agamaku, apapun itu kelak!”


Tentang Orang Tua

Banyak orang bicara tentang agama dengan nada sinis padaku, terutama ketika aku beritahu aku agnostic. Aku percaya Tuhan, tapi memang belum tau agama apa yang aku pilih. Ibu – Bapak tidak ajarkan, aku dimasukkan ke sekolah dengan berbagai latar belakang keyakinan agama. 12 tahun sekolah, aku belajar Protestan, Katolik, Buddha, Islam. Mereka tidak tau kalau itu berdampak pada psikologis seorang anak, dan mungkin timbulkan keraguan dalam memilih. Terbukti, semua yang aku pelajari tertanam di pikiranku dan membuat tidak bisa memilih, karena semua benar, kenapa harus pilih satu?

Mereka pasti tidak pernah belajar parenting! Iya, bapak – ibu sama seperti pasangan lain. Mereka menikah ya menikah saja, tanpa pernah punya family planning, apalagi pengetahuan tentang parenting! Mereka lupa kalau menikah itu bukan Cuma soal berdua, tapi anak yang akan mereka besarkan. Lupakanlah soal orang tua mereka yang tidak sedang menjadi object cerita dalam tulisan ini, tapi bayangkan gimana egoisnya banyak pasangan di dunia ini yang memang tidak mengerti cara membesarkan anaknya, dan akhirnya banyak anak yang besar dalam berbagai kekurangan.



Mereka, jangankan bicara soal family planning dan parenting, untuk memikirkan kedewasaan berdua saja mereka masih meraba-raba. Lihatlah bagaimana seringnya mereka menyalahkan satu sama lain, mengabaikan fakta bahwa aku tidak mau tau apapun permasalahan mereka, egois? Bukan egois dan ngga mau peduli dengan masalah mereka, tapi percayalah orang tua di banyak tempat selalu memiliki kecenderungan untuk merasa lebih pintar dari anaknya, dikasih tau malah bilang “tau apa kamu tentang hidup, komen lagi nanti jajan dan semua fasilitas kamu aku cabut”, Holly God! Alhasil, Cuma nemuin orang tua dan bilang, GBU Bapak, GBU Ibu.. well, GBU disini means Gue Butuh Uang!

Aku bukan anak manja kok, aku cuma kadang ingin punya bapak dan ibu normal seperti yang orang lain punya!
Ngga akan ada anak manja yang berjuang keras, biar Ibu Bapaknya bisa bangga sama dia!
Kebanyakan anak manja Cuma bisa ngeluh, nangis, terus? Bunuh diri kali ya! hehe
Belum pernah kan menemukan bong (alat hisap shabu) di rumahmu? J



Tentang Mempersiapkan
Aku tau rasanya gagal, aku tau melihat bagaimana Ibu dan Bapak terpecah belah dan melebur seperti butiran pasir. Kadang, ini membuatku menjadi merasakan apa yang tidak perlu aku rasakan dan memikirkan apa yang tidak perlu aku pikirkan. Beberapa waktu lalu, sempat merasa commitment phobia, ingin tidak punya pasangan atau keluarga. Tapi akhirnya aku sadar, orang bijak adalah orang yang menyelesaikan masalah bukan malah berlari dari masalah itu. Selamanya akan jadi pecundang, kalau Cuma bisa sembunyi dan mengabaikan masalah besar yang membebani.



Begitupun dengan hubungan, karena tau rasanya sakit aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. begitu juga dalam hubungan, aku selalu berusaha untuk mempersiapkan hubunganku dengan seseorang dengan sangat terencana dan semuanya jadi sesempurna mungkin. Aku bukan overthink, aku Cuma berusaha untuk menjamin aku tidak merasakan kegagalan lagi. Aku berdoa dan berharap, bila aku punya anak, mereka tidak akan merasakan perih yang aku rasa dengan perpecahan, itulah sebabnya cita-citaku hanya ingin menjadi ayah yang terbaik untuk mereka! Bukankah orang yang pernah merasa sakit harusnya cukup bijak untuk tidak biarkan orang lain merasa sakit yang kita rasakan?

Tentang Keberagaman dan Mualaf
Tidak ada yang salah dengan hubungan dalam keberagaman, dan tidak ada salahnya seorang guru ngaji atau bahkan ustadz untuk memiliki menantu yang mualaf. Pun begitu dengan pendeta yang memiliki seorang menantu yang baru masuk Kristen. Selama itu semua benar-benar datang dari hati, pindah agama adalah pilihan pribadi. Selama tidak masuk infotainment, bukankah semua itu baik-baik saja? Hubungan dalam keberagaman, memang pada akhirnya akan membuat seseorang ‘beralih’, bukan karena seseorang lain, tapi karena memang belajar agama lain dan akhirnya meneguhkan. Pada akhirnya, semua itu soal pilihan, dan hati yang bantu memilihkan semua itu!


It's good to have someone that waits for you while you are changing to be a better person





Sebungkus Sajak Penuh Harap

Terlalu banyak ketakutan yang kau pikirkan,

Tak usah kau ragu padaku,
Aku akan selalu menguatkanmu,
Tak berarti aku tau mengerti apa yang terjadi
Namun ku tau kalau cinta kan temani kita berdua

Dalam ruang dan waktu yang terpisah
Aku trus berdoa untuk kita berdua, kasihku
Aku berdoa agar waktu kan menjawab semua doaku
Agar kita bisa bersama, dan aku bisa selalu menguatkanmu

Temani aku sayang, temani aku dan pegang jemariku
Temani aku tuk bisa lewati tiap badai, bersamamu sayang!
Jangan ragu, Jangan lihat ke belakang, lihatlah ke depan dan teguhlah
Mungkin jalanan ini akan berliku, tapi pasti terlewati bila kita berjalan bersisian.! 

(6/8/13)

Komentar

Posting Komentar