Malam tadi, seseorang mengajak berdiskusi tentang agama, dan dalam sebuah
percakapan Ia melontarkan pernyataan:
“Kamu punya kepintaran, relasi,
achievement. Tapi kalau kamu ngga punya iman buat apa? Kamu bisa ngelakuin
banyak hal yang kamu mau, tapi kamu ngga pernah nyoba buat cari tau tentang
agama dan keyakinan, buat apa? Sama aja bohong!”
Manusia memang sangat mahir menjudge
orang lain tanpa pernah mau tau hal unik yang mungkin membuat sebuah peristiwa
terjadi. Mungkin, ini memang dampak nyata dari keterbatasan manusia, dalam
merasakan dan memikirkan sesuatu. Kamu pernah, menilai orang buruk, tapi
sebenarnya (mungkin) orang itu juga ngga mau ada di situasi buruk itu? Mungkin
kamu merasa berhak untuk menilai orang lain, tanpa sadar kalau ada hal lain
yang ngga selalu dibuka di ruang publik. Karena apa? Karena publik terlalu suka
menilai tanpa bertanya, terlalu suka menginterpretasi tanpa diskusi,
berindikasi tanpa memberi kesempatan pihak lain tuk menerangkan.
Aku terlahir dan besar di keluarga yang memang
tidak mengajarkanku dengan baik tentang konsep agama. Bagiku, ketidaktahuan
tentang agama, sama seperti kebutaan dalam hidup. Ibaratnya, aku sejak lahir memang buta dan
tidak bisa melihat, tapi mataku terbuka lebar seolah aku bisa melihat semuanya.
Kemudian, dalam suatu kesempatan aku mencoba berjalan tanpa tongkat dan
mendadak menabrak tiang bendera yang ada di tengah lapangan, semua orang
melihatku dan berkata “bisa liat ngga sih? Masa tiang bendera segede gitu malah
ditabrak! Makanya, kalau jalan pake mata jangan kaya orang buta!”.
Mereka mengutukku
karena aku tidak tau sesuatu yang memang tidak pernah aku lihat, padahal
menurut mereka apa yang mereka lihat itu begitu jelas. Tapi kan aku buta sejak
kecil, gimana mungkin aku melihat apa yang mereka lihat. Aku bukan tidak mau
tau apa yang mereka lihat dan bagaimana itu begitu indah, tapi memang aku ngga
tau apa yang mereka lihat!
Aku tidak melihat apa yang orang
lain lihat, dan begitulah yang terjadi karena memang Tuhan ciptakan demikian
dari awal.
Aku beri contoh lain, tentang kehilangan. Buat sebagian orang, pasti
karena dari kecil mereka hidup dengan bapak, moment kehilangan bapak menjadi
sebuah moment yang menyedihkan. Tapi, coba kalau misalnya (mungkin) seperti aku
yang dari kecil memang tidak pernah punya sosok bapak, dan hingga kini aku
tidak tau bagaimana rasanya punya figur bapak. Menurutmu, apakah salah kalau bapak
meninggal nanti aku tidak menangis? Bahkan, sorry
to say, mungkin sedih atau merasa kehilangan pun tidak!
Kamu tau rasanya ketika lulus SD – SMP – SMA tidak pernah mendapat
ucapan selamat dari bapak? Atau bahkan ketika masuk di (salah satu) Kampus
terbaik di Indonesia pun, bapak membentak aku karena aku dapat di Program yang
mahal, bukan yang murah seperti anak lainnya? Bapak tidak pernah izinkan aku
untuk punya ‘bapak normal’ seperti anak lain, tapi bapak selalu menuntut aku
jadi ‘anak normal’ lain yang sering ia lihat. Tau apa dia tentang usaha aku
buat kuliah di kampus itu? Ah sudahlah, dia pasti ngga pernah tau gimana
jungkir baliknya aku belajar sambil tinggal di rumah keluarganya yang irrational itu!
Begitulah agama bagiku, aku tentu ingin belajar agama. Mempelajari apa
yang dianggap baik oleh banyak orang, di Indonesia khususnya. Aku ingin menjadi
baik, sama dengan yang lain. Tapi, bisakah mengerti bahwa dalam beberapa
situasi ada hal yang tidak terelakkan dan mungkin aku tidak seharusnya
disalahkan? Seperti agama, bagaimana caranya memilih agama dari lahir? Aku tidak
tau bagaimana mengaplikasikan agama dalam gelapnya hidupku, tapi aku ingin
belajar, dalam kemerdekaan dan kebebasan untuk memilih. Mengapa kita harus
berdebat untuk sesuatu yang bahkan aku tidak tau bagaimana caranya aku memilih
agama ini?
Saat ini, dalam proses pencarian ini, aku sedang belajar untuk menggali dan mencari tahu mana yang paling cocok denganku. Agama itu benar semua, pertanyaannya yang mana yang paling sesuai itulah yang dipilih. Karena pemikiran merdeka membuat kita memilih tanpa beban dan tekanan. Kita memiliki kebebasan untuk memilih yang kita mau, dan kelak akan memegang teguh apa yang kita pilih itu.
“Beruntungnya, ibu cukup terbuka!
Ia mengizinkan aku untuk memilih agamaku, apapun itu kelak!”
Tentang Orang Tua
Banyak orang bicara tentang agama dengan nada sinis padaku, terutama
ketika aku beritahu aku agnostic. Aku percaya Tuhan, tapi memang belum tau
agama apa yang aku pilih. Ibu – Bapak tidak ajarkan, aku dimasukkan ke sekolah
dengan berbagai latar belakang keyakinan agama. 12 tahun sekolah, aku belajar
Protestan, Katolik, Buddha, Islam. Mereka tidak tau kalau itu berdampak pada
psikologis seorang anak, dan mungkin timbulkan keraguan dalam memilih. Terbukti,
semua yang aku pelajari tertanam di pikiranku dan membuat tidak bisa memilih,
karena semua benar, kenapa harus pilih satu?
Mereka pasti tidak pernah belajar parenting! Iya, bapak – ibu sama
seperti pasangan lain. Mereka menikah ya menikah saja, tanpa pernah punya
family planning, apalagi pengetahuan tentang parenting! Mereka lupa kalau
menikah itu bukan Cuma soal berdua, tapi anak yang akan mereka besarkan. Lupakanlah
soal orang tua mereka yang tidak sedang menjadi object cerita dalam tulisan
ini, tapi bayangkan gimana egoisnya banyak pasangan di dunia ini yang memang
tidak mengerti cara membesarkan anaknya, dan akhirnya banyak anak yang besar
dalam berbagai kekurangan.
Mereka, jangankan bicara soal family planning dan parenting, untuk
memikirkan kedewasaan berdua saja mereka masih meraba-raba. Lihatlah bagaimana
seringnya mereka menyalahkan satu sama lain, mengabaikan fakta bahwa aku tidak
mau tau apapun permasalahan mereka, egois? Bukan egois dan ngga mau peduli
dengan masalah mereka, tapi percayalah orang tua di banyak tempat selalu
memiliki kecenderungan untuk merasa lebih pintar dari anaknya, dikasih tau
malah bilang “tau apa kamu tentang hidup, komen lagi nanti jajan dan semua
fasilitas kamu aku cabut”, Holly God!
Alhasil, Cuma nemuin orang tua dan bilang, GBU Bapak, GBU Ibu.. well, GBU
disini means Gue Butuh Uang!
Aku bukan anak manja kok, aku cuma
kadang ingin punya bapak dan ibu normal seperti yang orang lain punya!
Ngga akan ada anak manja yang
berjuang keras, biar Ibu Bapaknya bisa bangga sama dia!
Kebanyakan anak manja Cuma bisa
ngeluh, nangis, terus? Bunuh diri kali ya! hehe
Belum pernah kan menemukan bong
(alat hisap shabu) di rumahmu? J
Tentang Mempersiapkan
Aku tau rasanya gagal, aku tau melihat bagaimana Ibu dan Bapak terpecah
belah dan melebur seperti butiran pasir. Kadang, ini membuatku menjadi
merasakan apa yang tidak perlu aku rasakan dan memikirkan apa yang tidak perlu
aku pikirkan. Beberapa waktu lalu, sempat merasa commitment phobia, ingin tidak punya pasangan atau keluarga. Tapi akhirnya
aku sadar, orang bijak adalah orang yang menyelesaikan masalah bukan malah
berlari dari masalah itu. Selamanya akan jadi pecundang, kalau Cuma bisa
sembunyi dan mengabaikan masalah besar yang membebani.
Begitupun dengan hubungan, karena tau rasanya sakit aku berusaha untuk
tidak menyakiti orang lain. begitu juga dalam hubungan, aku selalu berusaha
untuk mempersiapkan hubunganku dengan seseorang dengan sangat terencana dan
semuanya jadi sesempurna mungkin. Aku bukan overthink,
aku Cuma berusaha untuk menjamin aku tidak merasakan kegagalan lagi. Aku berdoa
dan berharap, bila aku punya anak, mereka tidak akan merasakan perih yang aku
rasa dengan perpecahan, itulah sebabnya cita-citaku hanya ingin menjadi ayah
yang terbaik untuk mereka! Bukankah orang yang pernah merasa sakit harusnya
cukup bijak untuk tidak biarkan orang lain merasa sakit yang kita rasakan?
Tentang Keberagaman dan Mualaf
Tidak ada yang salah dengan hubungan dalam keberagaman, dan tidak ada
salahnya seorang guru ngaji atau bahkan ustadz untuk memiliki menantu yang
mualaf. Pun begitu dengan pendeta yang memiliki seorang menantu yang baru masuk
Kristen. Selama itu semua benar-benar datang dari hati, pindah agama adalah
pilihan pribadi. Selama tidak masuk infotainment, bukankah semua itu baik-baik
saja? Hubungan dalam keberagaman, memang pada akhirnya akan membuat seseorang ‘beralih’,
bukan karena seseorang lain, tapi karena memang belajar agama lain dan akhirnya
meneguhkan. Pada akhirnya, semua itu soal pilihan, dan hati yang bantu
memilihkan semua itu!
It's good to have someone that
waits for you while you are changing to be a better person
Sebungkus Sajak Penuh Harap
Terlalu banyak ketakutan yang kau
pikirkan,
Tak usah kau ragu padaku,
Aku akan selalu menguatkanmu,
Tak berarti aku tau mengerti apa yang terjadi
Namun ku tau kalau cinta kan temani kita berdua
Dalam ruang dan waktu yang terpisah
Aku trus berdoa untuk kita berdua, kasihku
Aku berdoa agar waktu kan menjawab semua doaku
Agar kita bisa bersama, dan aku bisa selalu menguatkanmu
Temani aku sayang, temani aku dan pegang jemariku
Temani aku tuk bisa lewati tiap badai, bersamamu sayang!
Jangan ragu, Jangan lihat ke belakang, lihatlah ke depan dan teguhlah
Mungkin jalanan ini akan berliku, tapi pasti terlewati bila kita
berjalan bersisian.!
(6/8/13)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus