‘Tuhan itu pribadi yang sangat
sederhana, Gi, dia cuma mau kita, umatnya, untuk percaya sepenuhnya pada dia,
itu aja!’
Andeli Monika Wulansari - 2013
Kalimat ini menyentuh, sangat menyentuh. Saya belajar tentang ketulusan
dari kalimat ini, sebuah ironi dalam pencarian saya akan agama dan keyakinan. Ia
mengajarkan saya bahwa Tuhan, apapun nabi nya, hanya ingin kita sepenuhnya
meyakini sesuatu yang memang memiliki kekuatan, kemampuan, kekuasaan, dan
pengetahuan lebih dari kita. Saya tentu tidak akan pernah lupa bagaimana dalam
penghidupan yang begitu berat ini, saya ternyata bisa berkuliah di salah satu
kampus terbaik di Indonesia, dan bahkan sedang bermimpi untuk ‘naik tangga’
untuk berkuliah di kampus top dunia, mungkin untuk 5 – 6 tahun kedepan.
Kalimat ini mengajarkan saya tentang bagaimana Tuhan tidak pernah
berhenti mendampingi kita setiap saat. Tuhan selalu memberikan berbagai kejutan
di tiap fase kehidupan, dan Ia memang selalu menjawab setiap permintaan dan
ragu yang diajukan oleh para ‘umat’ melalui doa. Tuhan, atau apapun namanya
itu, memberikan kita kejutan bahkan disaat kita tidak mengira itu akan terjadi.
Saya tidak perlu sebutkan contohnya, setiap orang pernah merasakan! Tapi,
seberapa sering kita bersyukur atas keajaiban yang Tuhan ciptakan itu? Bahkan
kita, seringkali justru membangkang dan mempertanyakan entitas Tuhan itu sendiri.
Agama dan Tuhan, bagi saya merupakan dua entitas yang berbeda. Kita hidup
dalam dunia yang penuh dengan ketakutan, penuh dengan kekhawatiran, penuh
dengan ancaman, lalu hadirlah agama sang jalan kebenaran yang diajarkan oleh
para ‘gerbong’ pembawa firman. Siddharta, Yesus, Muhammad, Musa, dan masih
banyak lagi. Mereka sepenuhnya mengajarkan kita tentang kebaikan, karena mereka
(menurut penafsiran saya) tidak punya interest atas politik ekonomi sosial. Mereka
berbicara dan menyebarkan firman mereka dengan hati, itu sebabnya mereka bisa
memenangkan hati. Berbeda dengan segelintir
pemuka agama sekarang yang tamak dan tergila-gila akan harta.
Bagi saya, mereka yang terlalu yakin bahwa keyakinan mereka adalah yang
paling benar itu seperti berjalan dalam ruang tanpa cahaya. Gelap, kelam, dan
tidak tau apa yang ada di ruangan itu. Tuhan adalah terang, bisa membuat kita
melihat, mengerti, memahami, dan menerima, bahwa ada banyak hal di dunia ini
yang harus dilihat dengan perspektif keterbukaan. Menganggap diri sendiri
paling benar terlihat sangat naïf, bahkan cenderung konyol disaat dunia
menuntut kita untuk hidup saling berdampingan tapi tidak mengganggu orang lain.
Saya sering tersenyum sini, tidak pada agama tapi pada para pemuka agama yang
melancarkan intrik politik. Mereka ‘menggoreng’ isu agama untuk tanamkan sebuah
doktrin negative, yang sebenarnya tidak ada satupun hal negative yang dimiliki
oleh semua agama.
"It is not our differences
that divide us, it is our inability to recognize, accept and celebrate those
differences"
- Lorde -
Jalan yang diajarkan oleh para nabi, adalah jalan menuju Tuhan. Agama itu
sendiri adalah tools untuk mencapai kedamaian yang kita inginkan untuk bisa
berkomunikasi dengan Tuhan. Inti dari tools tersebut menuntun kita untuk
melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan dan hasrat duniawi. Bagi saya,
point penting disini adalah tentang bagaimana kita bisa fokus menuju Tuhan itu
sendiri tanpa harus meributkan tools apa yang kita pakai, bahkan bila kita
tidak perlu memakai tools itu dan tetap bisa mencapai tujuan, mengapa tidak? Manusia
memang sering terlalu naïf untuk menyadari bahwa tidak ada satu hal pun yang
Tuhan ciptakan sama persis. Artinya, tidak ada satu situasipun di dunia ini
yang akan terjadi dengan alur yang sama persis.
Menerima perbedaan, seolah meyakini bahwa Tuhan terlalu cerdas untuk
memberitahu kita mengapa banyak perbedaan yang Ia ciptakan. Atau mungkin, kita
yang memang tidak cukup cerdas untuk mencari tahu alasan dibalik segala perbedaan
itu? Abaikan saja! Mari kita lihat perspektif menarik yang ditawarkan oleh
perbedaan itu, perspektif yang saya lihat ketika wanita berjilbab mampir ke
Gereja, atau ketika pria berkalung salib mampir ke istiqlal. Lebih dari itu,
ketika orang-orang Jepang yang atheis mampir ke Gereja dan Masjid. Toh tidak
ada tulisan ‘kafir dilarang masuk’ di depan pintu rumah ibadah, kan?
‘Jangan bertanya tentang agama, Gi,
terlalu berat untukmu, nanti kamu tersesat’
When I talk to myself – 2013
Saya akhirnya memilih untuk mencoba mengakhir perdebatan ini dengan
menerima bahwa tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Ada beberapa pertanyaan
yang memang lebih baik tidak usah dipertanyakan, daripada semakin bingung memikirkan
jawabannya. Saya memang telah tersesat, mencoba mencari pertanyaan yang entah
kenapa hingga kini tak bisa terjawab dan justru semakin jauh tersesat. Mungkin
saat ini akan lebih baik bagi saya untuk berhenti sejenak mencari jawaban dan
fokus pada melihat setiap peluang yang ada untuk yakin pada satu keyakinan. Kapan? Entah kapan, mungkin suatu saat ketika
saya sudah bisa semakin menerima kalau kepercayaan pada suatu keyakinan akan
menyejukkan hati, dan meneduhkan kehidupan.
‘Hamba hanyalah umat, pribadi
yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Tuan, sang penguasa semesta beserta
segala isinya. Lantas, bagaimana mungkin hamba bisa membela Tuan, bila Tuan
sendiri dengan mengedipkan mata saja bisa mencabut jiwa dari raga hamba?’
- Saya, 2013 -
Well, bukankah hidup sepenuhnya adalah untuk melakukan kebaikan? Setiap orang
tentu memiliki perspektifnya masing-masing tentang sesuatu yang dianggap benar,
dan tidak satu orang pun berhak menyalahkan atau membenarkan apa yang diyakini
oleh orang lain. Benar - salah, baik - buruk, bukankah itu sepenuhnya hanya
bisa diputuskan oleh Ia yang maha pengasih lagi maha penyayang? Bukankah kita
diajarkan untuk saling mengerti, saling memahami, dan saling mengampuni? Lantas
mengapa, manusia, sang umat, justru menjadi penghakim atas sesamanya? Bukankah menghakimi
itu sepenuhnya merupakan hak preogratif sang pencipta? Siapa kita mahluk bumi,
yang mencoba untuk mengurusi berbagai hal yang menjadi tanggung jawab langit?
Demikianlah tinggal ketiga hal
ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya
ialah kasih (1 Korintus 13:13)
Bila kasih adalah yang paling besar dibanding iman dan pengharapan,
mengapa begitu sulit bagi manusia untuk mengasihi sesamanya manusia? Mengapa
kita terlalu bersibuk dengan iman, yang tidak pernah bisa diukur dengan
parameter pasti, bila mengasihi saja kita masih gagal? Meyakini bahwa setiap
manusia memiliki hak atas cinta kasih, adalah bentuk mengimani apa yang
diajarkan oleh Tuhan semesta alam. Melakukan apa yang ia perintahkan tidak
pernah semudah itu, seperti bagaimana seseorang yang tersakiti harus mengasihi
orang yang menyakitinya. Tentu tidak akan mudah bagi korban perkosaan untuk
mengasihi pemerkosanya! Itulah alasan mengapa kasih menjadi yang terutama,
karena mereka yang beriman, beribadah dengan taat, belum tentu bisa mengasihi
mereka yang melukai hatinya.
Menutup mata terhadap perbedaan, memberi kita batasan ruang terhadap kolaborasi. Bagaimana mungkin tercipta dialog bila kita tidak memulainya dengan pikiran bersih. Ketidaksetaraan minoritas – mayoritas menjadi sebuah pertanyaan konyol, bagaimana mungkin kita mengatasnamakan mayoritas. Lebih lucu lagi, ketika mereka yang anti barat justru membicarakan konsep minoritas mayoritas yang menjadi ciri demokrasi. Apa mereka lupa bahwa sebenarnya konsep demokrasi adalah produk barat yang tidak sepenuhnya memiliki keunggulan dan masih memiliki banyak cela? Astaga, manusia memang seringkali terlalu gegabah dan lupa berpikir lebih jauh terhadap sesuatu hal.
Menutup mata terhadap perbedaan, memberi kita batasan ruang terhadap kolaborasi. Bagaimana mungkin tercipta dialog bila kita tidak memulainya dengan pikiran bersih. Ketidaksetaraan minoritas – mayoritas menjadi sebuah pertanyaan konyol, bagaimana mungkin kita mengatasnamakan mayoritas. Lebih lucu lagi, ketika mereka yang anti barat justru membicarakan konsep minoritas mayoritas yang menjadi ciri demokrasi. Apa mereka lupa bahwa sebenarnya konsep demokrasi adalah produk barat yang tidak sepenuhnya memiliki keunggulan dan masih memiliki banyak cela? Astaga, manusia memang seringkali terlalu gegabah dan lupa berpikir lebih jauh terhadap sesuatu hal.
Bagaimana bila kita buat lebih mudah, diantara semua critical thinking
yang saya miliki ini, mari mulai mengasihi sebanyak mungkin orang yang ada di
sekitar kita tanpa harus memperdebatkan hal-hal yang tidak terlalu penting.
Percayalah, mengasihi orang itu bukan sesuatu yang mudah. Percayalah, bahwa
berdamai dengan diri sendiri saja susah, apalagi berdamai dengan mereka yang
pernah menyakiti kita. Ah, sudahlah! Hidup ini memang terlalu rumit bila kita
terlalu banyak bertanya!
‘Manusia harusnya berlomba untuk
berbuat baik dan menyebarkan kebajikan pada sesamanya, bukan justru saling
menghakimi dan merasa paling benar atas sesamanya’
Komentar
Posting Komentar