Bangga Menjadi Berbeda Merdeka 100%

Akhir-akhir ini terkadang aku merasa bahwa tekanan yang paling membunuh adalah tekanan sebaya. Kita seringkali merasa ketika kita berbeda maka harus mencoba beradaptasi, atau ketika ada orang lain yang berbeda maka harus disamakan. Kalian tau, keberagaman adalah sesuatu yang harus dipelihara dengan baik menurutku. Kita tidak harus menjadi seperti orang lain hanya sekedar untuk membuat orang lain ‘mengakui’ keberadaan kita. Lebih konyol lagi, ketika kita membuat perubahan hanya untuk menyenangkan orang lain tanpa kesadaran penuh kenapa perubahan itu harus dibuat.

Mungkin, sebagian orang lupa bahwa Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Bill Gates, bahkan BJ Habibie adalah orang-orang yang berbeda namun memilih untuk tetap merdeka dan tidak menjadi sama. Ketidaksamaan mereka, dibayar mahal dengan upah berbentuk keberhasilan. Kita mungkin memiliki kemampuan yang baik untuk fight tapi tekanan sekitar sangat menyulitkan.


Aku bangga, aku minum Bir walaupun teman-temanku yang ‘beragama’ menyorot aku dengan tatapan keji kepadaku dan bir yang kuminum.

Aku bangga, tidak percaya pada agama. Meskipun saat ini orang yang beriman terlihat lebih menarik wanita. Kinerja dan achievementku toh setara dibandingkan mereka yang beriman.

Aku bangga punya teman gay dan pelaku seks di luar nikah, toh mereka baik padaku dan (sekali lagi) kinerja, behave dan achievement mereka setara dibandingkan yang tidak seperti mereka.
Aku bangga punya pemikiran liberal dan sekuler, karena toh banyak negara liberal dan sekuler memiliki tingkatan yang lebih baik dalam hal kesejahteraan masyarakat.

Aku bangga, bisa terus berada di circle ‘project thank you’ disaat banyak orang berkata ‘tenaga lo harusnya dihargai dengan angka yang cukup layak’ karena aku bisa melihat banyak kebahagiaan di sorot mata orang-orang di sekitarku.

Aku bangga, menjadi anak broken home. Simply karena aku bisa memiliki kinerja, endurance, fighting spirit dan achievement, yang setara atau bahkan lebih dibandingkan mereka yang memiliki kehidupan lebih baik dari aku.

Beyond that, aku bangga tidak punya agama tapi bisa menjadi guru,mentor,rekan bagi yang beragama. Aku bahagia karena kita tidak menjadikan agama sebagai batas dalam mengulurkan tangan dan memberikan bantuan. I mean, we’re equal, rite? Lalu kenapa terlalu ada sorot mata tajam yang melihat aku ketika aku bicara “I don’t believe in any religion”

Mungkin aku akan belajar untuk bertutur dengan lebih bijak dan tidak memaksa, serta mengerti bahwa seiring dengan waktu behave menjadi penting bagi semua praktisi public relations. Belajar empati lebih banyak, tentu tidak boleh dilupakan.



Aku, akan tetap menjadi diriku sendiri dan tidak berubah hanya karena orang lain mendesak. Dear God, I’m nobody without, please hold my hand and don’t leave me behind.

Komentar