Apa Kita Harus Memikirkan Sesuatu Secara Berlebihan ?

Kapan terakhir kali bersyukur karena diberi udara secara gratis?

Kapan terakhir kali berterima kasih karena diberikan teman/keluarga yang selalu ada disaat kita butuh?

Kapan terakhir kali, kita memikirkan betapa banyak hal menarik yang Tuhan berikan, namun tidak kita syukuri?


“The most important thing in all human relationships is conversation, but people don’t talk anymore, they don’t sit down to talk and listen. They go to the theater, the cinema, watch television, listen to the radio, read books, but they almost never talk. If we want to change the world, we have to go back to a time when warriors would gather around a fire and tell stories.” 
- Paulo Coelho -


Akhir-akhir ini saya melihat banyak orang yang lupa akan kenikmatan berbicara dan bertukar pendapat. Terlalu banyak orang menikmati masa – masa ‘menggenggam dunia’ melalui gadget yang terkoneksi dengan jaringan nirkabel. Kita lupa bahwa terkadang, tutur kata tak kunjung bisa dimaknai dengan bijak ketika kita tak lagi mencoba berdiskusi tentang makna sesuatu hal dan lebih suka membuat interpretasi sendiri atas apa yang ada terjadi di sekitar kita.

Pembaca tulisan ini pastinya cukup beruntung diberikan berkat yang berkecukupan oleh Tuhan. Setidaknya, membaca tulisan ini butuh akses internet dan gadget, untuk bisa memiliki hal itu anda pasti harus berada di kelas ekonomi menengah dan atas. Tapi, mungkin di bebeberapa kesempatan anda masih sering merasa kurang bersyukur atas setiap berkat yang diberikan oleh Tuhan. Banyak orang kurang mensyukuri hidupnya, dan selalu memikirkan kekurangan yang ada sembari berharap Tuhan bisa memberikan sesuatu untuk menutupi kekurangan tersebut.

Nona Huruf Vokal 1, ingin menjadi model namun kurang tinggi dan berharap bisa lebih tinggi. Ingin berangkat ke luar negeri dan ikut mahasiswa berprestasi, namun merasa minder. Ingin mencapai cita-citanya, namun tidak pernah fokus pada hal tertentu dan cenderung mengambil semua kesempatan yang ada. Padahal, dia cukup fotogenic, cerdas, dan berpotensi untuk bisa menjadi ‘seseorang’ tanpa harus terlalu memikirkan kekurangannya.

Nona Konsonan 1, ketika diberi kesempatan untuk maju sebagai ‘seseorang’ dengan ‘jabatan’ tapi justru memilih untuk mengelak. Alasannya ‘Ibu tidak izinkan’ dan ‘rahimku punya umur’, belum lagi kalimat ‘aku merasa belum mampu’. Bahkan ketika seseorang secara personal mengirimkan sinyal penolakan kepada saya terkait pencalonannya di ‘jabatan’ tersebut, dia langsung menyatakan ‘aku lebih memilih menjaga hubunganku dengan orang lain, daripada menjulang tinggi namun dicaci’. Saya tau potensi yang ada di dalam dirinya, pun begitu dengan keinginan untuk menemukan sebuah karir diluar kuliah salah jurusannya. Mungkin, menghargai usaha dan niat yang Ia punya terlalu sulit untuk dilakukan semua orang.

Nona Huruf Vokal 2, ketika mendapat ‘pukulan’ telak dari ‘seseorang’ terdekat Ia menjadi down. Padahal ‘seseorang’ itu tidak pernah tau betapa nona huruf vokal 2 selalu berusaha untuk bertumbuh dan berkembang meraih mimpi dan mengorbankan banyak hal. Terlepas dari beberapa perdebatan kami tentang banyak hal, saya tau betul betapa terkadang 25 jam tidak pernah cukup untuk Ia mengejar mimpinya. Tapi dunia memang kejam, terkadang tusukan paling menyakitkan justru datang dari mereka yang duduk persis di sisi kita.


“Everything tells me that I am about to make a wrong decision, but making mistakes is just part of life. What does the world want of me? Does it want me to take no risks, to go back to where I came from because I didn't have the courage to say ‘yes’ to life?” 
Paulo Coelho, Eleven Minutes 


Kamu tau, terus menjadi bodoh dan bisa terlihat bodoh adalah sebuah kebahagiaan. Seorang sahabat, Adi Pratama pernah menyatakan, “Lihatlah teman kita Ami, yang bisa selalu bertanya tentang suatu hal tanpa sungkan dan Ia mendapat lebih banyak ilmu. Bandingkan dengan beberapa orang yang karena sudah dianggap keren terus jadi ngga bisa lagi nanya pertanyaan konyol.”  Kita semua, seringkali diberi kesempatan untuk belajar dari berbagai cobaan, tapi kita cenderung cemas memikirkan sesuatu yang bahkan mungkin tidak perlu dipikirkan.

Kamu pernah memilih untuk tidak melakukan sesuatu karena khawatir orang lain akan memiliki pandangan negatif tentang kamu? Padahal, hal tersebut adalah sesuatu yang sangat perlu kamu lakukan, tapi kamu mengabaikannya hanya untuk menjaga pendapat orang tentang kamu. Kita sering berjalan dan berlari di track orang lain, sehingga lupa landasan yang kita pijak. Dampaknya? Kita berjalan di alur yang memang tidak sebaiknya kita tempuh, dan dampaknya pun tidak maksimal untuk semua pihak.

Kita hidup di abad 21, di dunia yang memberikan kita akses untuk bergerak dengan cepat menuju mimpi dan meraih harapan tanpa harus membuat perdebatan tentang pendapat orang lain. Apa anda harus telalu peduli dengan perkataan orang yang tak pernah ada disaat kita dibawah dan membutuhkan bantuan? Apa kita perlu terlalu memedulikan para kaum nyinyir yang tidak tau betapa perihnya kaki ini saat menginjak bebatuan?

Again, kita berjuang untuk mimpi. Kita bergerak untuk meraih apa yang kita mau, jangan terlalu lama bermain dengan mimpi orang lain. Jangan terlalu mendengarkan mulut yang tak pernah tau rasanya bergerak dengan beban berbeda. Majulah karena tau apa yang kita tuju, dan terjanglah semua musuh seperti Samurai menebas para lawannya di perang.

Good luck, dreamcatcher!

Komentar