Saling Mengerti


Dear, You!


Seorang teman perempuan, bercerita tentang alasan mengapa Ia tidak bisa bertahan dengan seseorang dari masa lalu:

Belajar sampai pagi dikatain ngga nurut dia kalo disuruh tidur, ke palliative care atau ke YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat). Dia ngga terima, kalau aku kunjungan tugas sama temen di kelompok yang ada temen cowoknya. Aku latihan tensi dikatain kesempatan pegang2 tangan cowok, dia ngga ngebolehin aku ikut organisasi karena takut aku ditaksir kakak kelas atau gimana - gimana. Ya, begitulah Resiko LDR-an. Curiganya banyak, dan Aku putuskan ngga lagi mempertahankan dia. Aku juga punya kehidupan pribadi kan! Belum jadi suami juga kenapa harus saklek banget sama omongan dia, kan?

Ketika kamu punya pasangan seorang dokter, mungkin kamu bisa mulai belejar untuk memahami bahwa waktunya bisa aja dihabiskan di rumah sakit bersama orang lain dari pada suami dan anak-anaknya (itu mungkin aja, kecuali kalo emang prakteknya di rumah). Pikiran dan tenaganya bisa aja dihabiskan untuk orang asing. Bukan karena lebih menyukai rumah sakit dari pada rumah sendiri, rumah dan keluarganya pasti jadi tempat yang terbayangkan terus!

Ketika di rumah sakit, rasanya tekanan ngga cuma fisik, tapi terkadang tekanan batin itu yang lebih bikin lelah. Kalo sudah begini rasanya pengen dipeluk aja. Siapa tau pasiennya baru meninggal, dimarahi senior, disalahkan pasien karena terapi yang si dokter itu berikan, atau rekan kerja yang ngga kooperatif.

Aku pernah sih gik, sekali, sepulangnya dari rumah sakit nangis senangis – nangisnya. Ngga tega sama pasiennya, untung ada temen aku yang sabar dengerin, bisa aku percaya, bisa aku ceritain hariku kaya gimana. Salah satu kriteria pasangan kaya gitu lah yang menurutku bisa diharapkan oleh seorang dokter. Yang bisa diajak sharing, at least aku tau aku punya seseorang yang bisa dijadikan tempat berbagi kalo aku lg ada tekanan.


Jadi dokter itu ngga seperti kebanyakan kata orang yang selalu kaya materi. Tapi sama aja kaya profesi lain yg sama sama mendaki dari bawah. Bahkan ketika udah di rumah sakit, selalu ada jadwal buat jaga. Bukan ngga mungkin kalo dia sampai lupa makan, jadwal tidur makin kacau, aku sih kadang ngebayangin ‘enak kali ya kalo ada yg ingetin makan, perhatian gitu, walopun sama-sama sibuk, tapi saling merhatiin.

Lalu, aku berpikir:

Gue ngga ngerti kenapa diskusinya jadi sepanjang ini. Padahal gue cuma bilang "aku belum pernah dekat dengan seorang perempuan yang belajar kedokteran, kalau anak kedokteran tuh maunya cowoknya gimana sih bersikap ke dia?" Kadang, dunia emang penuh dengan misteri dan hal-hal tidak terduga. Begitupun dengan pertanyaan absurd yang justru memberikan banyak penjelasan menarik tentang bagaimana harusnya aku bersikap ke kamu, non!

Buat bisa bertahan di sebuah hubungan jarak jauh aja butuh effort, apalagi kalau jadiannya sama anak kedokteran yang jadwalnya super ketat! Belum lagi cowoknya anak komunikasi yang ngga butuh belajar buat sekedar dapat nilai B, kontras banget sama anak kedokteran yang diktat dan handoutnya segumpel gitu. 

Tapi, mungkin gue justru bisa mengisi sisi lain dari kehidupan calon dokter itu. Biar dia ngga melulu bahas soal infeksi, virus, hal-hal mikroskopik, obat-obatan dan terapi. Tapi mungkin aja dia juga butuh hal lain, misalnya jalan-jalan ke eropa (ala-ala ogi banget), ngomongin hal ga jelas yang somehow ngga ada gunanya sama sekali. Atau, didengarin aja dari ujung telepon, diajak ketemu tiap beberapa bulan sekali, disemangatin pas lagi pengen ikut lomba putri-putrian tapi takut ga match sama kuliah kedokteran.

Somehow, dengerin suara kamu yang cempreng dan bawel itu ternyata sesuatu yang berharga banget ya non. Aku malam ini belajar bahwa sayang sama seseorang yang kuliah kedokteran itu emang beda kalau dibandingin sama yang ambil jurusan lain. Tapi justu itu bikin aku belajar untuk ngerti tentang empati dan mengerti orang lain, sesuatu yang selama ini ngga sering aku lakuin. Untuk setiap momen yang bisa dihabiskan bersama, mungkin akan lebih baik bila kita habiskan dengan canda tawa dan senda gurau. 

Ada 72 tanggal sebelas di kalender yang harus dilewati sampai benar-benar bisa menyandang title 'dr' di depan nama kamu, dr Fia Delfia Adventy! Hihihi. Aku menutup tulisan ini, make kata-kata kamu aja! Apapun itu, biarin sesuai dengan rencana dan rancangan Tuhan.

Till we meet again, non.

Komentar