Source |
Hari
ini, saya dan beberapa teman mencoba untuk membuat kejutan untuk seorang teman
yang kecewa karena tidak diberikan kejutan saat Ia ulang tahun padahal dia
sering memberikan kejutan untuk teman-teman kami dalam sebuah grup pertemanan.
Seseorang bahkan bilang dia memang sangat kecewa karena orang-orang di inner circle dia tidak memberikan
kejutan apapun. Bahkan itu membuat dia sampai leave group di beberapa circle.
Buat
saya yang sejak kecil tidak pernah diberi kado ulang tahun oleh Ayah, saya
bahkan tidak pernah tau arti ulang tahun. Jadi ketika ada teman yang kecewa
tidak mendapatkan sesuatu di hari ulang tahun, saya selalu bingung. Karena saya
mungkin langsung berpikir, sudah 22 tahun saya hidup dan 22 tahun saya berharap
Bapak mengucapkan selamat ulang tahun, tapi tidak pernah terjadi. Bahkan di
saat wisuda yang ngga sekali setahun pun tidak ada ucapan atau perayaan khusus.
Bahkan hal-hal yang setiap orang punya tapi saya tidak, seperti kehangatan
keluarga atau diajari beribadah oleh orang tua, pun tidak membuat saya kecewa.
Meski banyak masalah, tapi
hidup saya baik-baik saja, kan? Lalu apa yang harus saya sesali atas sesuatu
yang tidak akan bisa saya rubah?
Saya
kadang sering bingung ketika berada di beberapa situasi yang berkaitan dengan
ekspektasi. Alasannya simple
teman-teman saya yang beragama itu tidak bisa menerapkan konsep ‘ikhlas’ atau
‘tanpa pamrih’ yang merupakan konsep dasar dari agama. Karena bukankah setiap
keyakinan memiliki fondasi utama pada konsep ‘semua hal di dunia ini terjadi karena
kehendakNya’. Masalahnya, kita cenderung tidak pernah selesai dengan ‘ego dan
angan’ sehingga mengabaikan konsep dasar tersebut.
Saya
memiliki sangat banyak masalah dalam hidup dan itu membuat saya menikmati banyak
kekecewaan. Tapi saya tidak mau menjadikan itu beban, karena (meskipun saya
agnostic saya sangat percaya bahwa) hidup ini diatur olehNya. Saya tidak
merayakan ulang tahun karena saya percaya saya tidak perlu mengundang orang di
ulang tahun saya, akan selalu ada orang yang bersama saya mensyukuri pertambahan
usia. Saya tidak mau menikah juga karena saya tidak mau berekspektasi saya
kelak bisa menjadi ayah yang baik tapi kemudian gagal. Tapi bukan berarti saya
tidak akan menikmati momen ulang tahun, pernikahan, atau bahkan (bukan tidak
mungkin jika kelak) saya suatu hari memiliki agama. Tapi saya mencoba mengelak
dari kekecewaan dengan tidak berekspektasi
Sepanjang
2015 saya tidak banyak berdoa, yang saya ingat saya berdoa sekali secara pribadi bersama terpidana mati Mary
Jane pada saat berkunjung ke LP Besi di April 2015, lalu di 2 Juni 2015 juga
untuk orang lain. Dalam doa saya, saya berekspektasi agar Tuhan bisa mewujudkan
apa yang saya inginkan. Tapi sejujurnya saya tidak selalu memiliki hasrat
ketika berdoa, saya hanya mencoba untuk pasrah dan membiarkan Tuhan yang
bekerja. Ketika Mary Jane bebas kemarin, saya hanya berucap syukur dan tidak
terlalu bahagia, karena saya percaya dari awal memang itulah plan yang Tuhan tuliskan.
Begitu
juga untuk seseorang yang saya doakan pada 2 Juni, saya tau betul bahwa dia
sangat ambisius dan semoga saja itu tidak membuat penumpukan ekspektasi. Tapi
akhir-akhir ini Tuhan sedang memberikan Ia apa yang sebenarnya telah dituliskan
olehNya untuk dimiliki oleh perempuan tersebut. Banyak orang mencoba sesuatu
dengan ekspektasi ‘mau belajar, mau mengembangkan diri’ tapi akhirnya tidak
dapat apa-apa. Sementara beberapa orang yang berpikir ‘saya berserah’ justru
mendapatkan hal-hal baik. Kamu pernah merasa begitu?
Akhir-akhir
ini saya semakin tidak mudah kecewa. Ketika (saat ini) saya dekat dengan
seorang perempuan, saya bahkan tidak ‘memposisikan diri seolah saya’
mengharapkan dia akan membalas perasaan saya. Bahkan terkadang kami membahas
pria yang mencoba dekat dengan dia. Alasannya? Bukankah kelak Tuhan akan
berikan milik saya dengan caraNya tanpa saya harus menahan derita karena tidak
bisa ikhlas menerima rencanaNya? Saya
sangat berharap Ia memilih saya, tapi karena takdir itu milik Tuhan, mengapa
saya harus mengurusi sesuatu yang bukan bagian saya (tapi bagian Tuhan)?
Bagian
saya dalam hidup adalah selalu mencoba melakukan yang terbaik, mencintai
seseorang dengan cara saya yang selalu ada disaat Ia butuh dan bisa
memerhatikan Ia dengan baik. Menjadi pendamping disaat Ia ingin bertumbuh, dan
membuat dia merasa nyaman. Tapi pada akhirnya, ya kalau tidak dipilih mau
gimana lagi? I’ve tried my best, if I’m
failed it means God has another plan for me!
I don’t want to waste my
time to thing about unimportant things, because I just have 24 hours a day!
Kita menjebak diri kita dengan ekspektasi bahwa pada umur sekian kita harus: menikah, punya anak, sukses, dll. Semuanya
ekspektasi, ketika belum tercapai kita baik-baik saja tapi memosisikan
seolah-olah kita itu gagal, rendah, dan tidak setara dengan orang lain. Kenapa
kita menabukan seks tapi tidak menabukan galau? Padahal galau tuh banyak
mudaratnya! Sekalian aja MUI Keluarin fatwa haram buat galau!
Pada
akhir dari tulisan ini, pelajaran yang saya dapat adalah banyak orang kecewa
ketika sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapan dan angan yang mereka
pikirkan. Manusia cenderung terjebak pada buaian semu dari hasrat dan nafsu
serta sulit untuk benar-benar pasrah dan percaya pada kehendak Tuhan. Kita
sering terjebak pada labirin yang diciptakan oleh pikiran dan ketidak ikhlasan,
tidak mudah menerima perbedaan dari angan dan kenyataan. Padahal kita semua
secara teori tau bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik, kan?
Jangan
menjebak diri kita dengan ekspektasi dan harapan yang akhirnya justru
memberikan kita beban. Tapi teruslah ikhlas dan tidak memikirkan pamrih, karena
sebenarnya yang kita dapat sedari awal telah dituliskanNya.
Bagus kak tulisannya(:
BalasHapusgood read :)
BalasHapus