Kita semua, tentu pernah mendengar bahwa Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Situasi dimana sebagian besar penduduk Indonesia adalah orang muda, yang dalam beberapa waktu kedepan akan mencapai puncak produktifitas. Tapi mari kita bertanya, apa kamu sudah merasa kampus memberikan dampak buat mencerdaskan kamu? Atau, ada berapa banyak sih Sarjana di Indonesia yang ngerasa mereka mendapatkan dosen dan ilmu yang tepat dan relevant dengan bidang kerja yang akan mereka lakukan di masa depan.
Bonus demografi pada akhirnya mungkin hanya akan menjadi sebuah glorifikasi atas apa yang sedang terjadi di Indonesia. Tapi pada realitanya, kita tidak pernah bersungguh-sungguh mempersiapkan agar bonus demografi itu memberikan dampak secara optimal. Fakta bahwa kita memiliki populasi orang muda yang besar sepertinya tidak ditunjang dengan upaya untuk meningkatkan kualitas para calon penerus bangsa. Bahkan mengacu pada data yang dirilis oleh UNDP, Human Development Index Indonesia menduduki peringkat ke 111 dari 188 negara. Peringkat tersebut ditempati Indonesia selama tiga tahun berturut-turut sejak 2012.
Saya meyakini institusi pendidikan di Indonesia, sebagian besar menerapkan sistem kerja sebagai pabrik yang menciptakan sekumpulan orang yang bersertifikat. Tetapi kita perlu melakukan kajian yang lebih mendalam tentang kemampuan dari para sarjana yang dihasilkan oleh kampus-kampus di Indonesia. Tentu akan sangat miris bila alumni public relations tidak memiliki relasi, alumni jurnalistik tidak bisa membuat tulisan yang baik atau sarjana informatika yang tidak bisa membuatwebsite dengan UI/UX yang baik. Lalu apa kita bisa memanggil mereka sebagai, SARJANA GAGAL?
Beberapa hal yang perlu kita soroti dalam sistem pendidikan Indonesia:
1. Cenderung Tidak Belajar Berpikir Kritis
Kritisme bukan poin lazim di sistem pendidikan kita. Tidak sedikit pengajar yang cenderung mendikte para siswa. Mudah bagi kita untuk menemukan siswa yang tunduk pada apa kata pengajar karena ketika mereka kritis, justru dihukum dengan nilai jelek dari tenaga pengajar yang sangat subjektif. Siswa yang mempertanyakan pernyataan pengajar seringkali justru dianggap pemberontak. Sistem pendidikan seperti ini pada akhirnya bisa menumpulkan kecerdasan siswa, yang akhirnya berdampak pada masa depan mereka.
2. Pengajar Serba Terbatas
Pengajar menurut saya merupakan kendala utama dalam mengembangkan sistem pendidikan. Tidak sedikit tenaga pengajar yang cenderung lamban mengikuti perubahan sistem pendidikan di dunia. Misalnya, kemampuan mengadaptasi perangkat teknologi untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Banyak sekali program diadakan untuk meningkatkan kapasitas peserta didik padahal masalahnya mungkin justru ada di tenaga pengajar.
Universitas Indonesia kini telah memungut uang kuliah yang cukup mahal (saya membayar tujuh juta tiap semester) yang bisa dianggap sebagai bagian dari perubahan zaman. Universitas kini tengah bertransformasi menjadi institusi penyedia jasa pendidikan dan saya merupakan konsumen dari sistem pendidikan itu. Artinya, tenaga pengajar (karyawan atau pekerja dari lembaga penyedia jasa) juga harus bisa meningkatkan kualitasnya. Sulit memahami pengajar tak berkualitas dan ketinggalan zaman mengajar di depan khalayak.
Ironi memang, jika seseorang yang bertugas mencerdaskan generasi muda bangsa justru tidak cukup cerdas setidaknya untuk mengikuti perkembangan teknologi atau memberikan ilmu yang implementatif dan tidak usang. Tapi saya yakin, harapan masih ada.
3. Doktrin atau Dogma
Ilmu di Indonesia seringkali diajarkan sebagai sebuah doktrin atau dogma. Kita tidak diberi ruang diskusi untuk mencari tahu sendiri kebenaran suatu fakta. Misalnya pelajaran sejarah atau agama, pengajar cenderung mendikte siswa dan bukan menggiring mereka untuk mencari kebenaran yang hakiki.
4. Judging
Sistem pendidikan Indonesia bagi saya sangat complicated. Kita bisa mulai dari jargon “Anak pintar masuk IPA, yang tidak begitu pintar silahkan IPS”. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan economist seperti Chatib Basri atau Sri Mulyani jika banyak orang mengira IPS hanya diisi oleh para basian?
5. Mimpi Cenderung Ditertawakan.
Sebagai negara ‘timur’, kita memiliki nilai-nilai yang cenderung komunal dan mengedepankan penilaian orang banyak. Misalnya ketika seorang mahasiswa menyatakan di muka umum bahwa dirinya bermimpi (misalnya sebut saja) menjadi Public Relations dari sebuah perusahaan multinasional ternama. Tidak jarang orang-orang sekitar justru menertawakan dan meminta mahasiswa itu untuk lebih tau diri, paling hoki dia cuma diminta untuk lebih ‘humble’.
It is our own mental attitude which makes the world what it is for us. Our thoughts make things beautiful, our thoughts make things ugly. The whole world is in our mind. Learn to see things in the proper light.
Saya selalu berasumsi bahwa proses belajar mengajar menerapkan komunikasi dua arah, pengajar seharusnya memiliki kualitas yang mumpuni. Bagaimana mungkin pengajar kelas sampah dan merasa kebal terhadap kritik bisa menghasilkan lulusan berkualitas? Mereka bahkan melupakan teori dasar pendidikan, listen to your people. Para pelatih bulutangkis yang baik biasanya merupakan pensiunan atlet yang digabungkan dengan teknologi. Mereka tau kemana mengarahkan bola, melihat arah angin, karakteristik lapangan dan faktor non teknis lainnya. Atau, mungkinkah kita belajar mengemudi dari orang yang tidak memiliki izin mengemudi?
Indonesia Mengajar, Konsep Pengajaran Menggunakan Mereka Yang Bukan Produk Gagal untuk Mengakselerasi Sistem Pendidikan Daerah Tertinggal |
Well, pada akhirnya pembenahan sistem pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, Tenaga Pengajar, dan Siswa. Kita tidak bisa melepaskan salah satu unsur untuk dijadikan terdakwa ketika produk pendidikan kita tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Sekali lagi, (bukankah secara retoris kita semua pernah mendengar bahwa) tujuan sistem pendidikan adalah mencerdaskan dan menyiapkan para pemuda untuk menjadi para calon pemimpin bangsa. Sehingga ketika sudah lulus mereka bisa menjadi pelaku industri, periset, maupun tenaga pengajar yang baik.
Saat ini, Indonesia sedang giat menyekolahkan para talenta terbaiknya ke berbagai kampus terbaik di dunia. Program LPDP seperti oase di tengah padang gurun sistem pendidikan Indonesia. Tentu akan sangat menyenangkan bila setelah kembali, para pemuda yang telah menghabiskan puluhan hingga ratusan ribu dollar uang pajak itu bisa kembali dan mengimplementasikan ilmu mereka. Buat apa belajar kalau tidak bisa diimplementasikan. Saya pikir keahlian menghapal teori tidak akan bisa membuat bangsa kita menjadi lebih besar? Buat apa disekolahin dong, kalo investmentnya ngga akan mencapai Return of Inverstment?
Komentar
Posting Komentar