Tentang Mengkritisi Setiap Rupiah Yang Mengalir di Sekitar Kita




Beberapa waktu lalu, saya tertawa terpingkal-pingkal ketika #Karhut menjadi trend di twitter. Akun @_Haye_ ketika itu membagikan beberapa informasi menarik tentang kegiatan buzzing yang dilakukan sekelompok buzzer berbayar terhadap pembakaran lahan. Menariknya, uang yang disalurkan terindikasi berasal dari rekening pribadi dan para buzzer tidak tau siapa sebenarnya client yang membayar mereka. Ironis, mengingat buzzer saya kira adalah orang-orang yang berpendidikan.

Tahun lalu, saya membantu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Bali Nine) di sisi Public Relations. Ketika itu saya bekerja side by side dengan Todung Mulya dan associate lawyersnya. Meskipun pekerjaan ini voluntary based, saya tetap bertanya ke tim lawyer darimana uang yang digunakan untuk operasional, dan membayar semua kebutuhan yang saya ajukan. Mereka menjelaskan bahwa yang kita support adalah pihak Australia yang berjuang membebaskan warganya. Saya lega ketika tau bahwa saya tidak menggunakan uang haram yang didapat dari para bandar narkoba.

Integrity is doing the right thing when nobody's watching

Bekerja sebagai public relations adalah pekerjaan yang tidak pernah mudah. Kita berbicara tentang reputasi, dan rekam jejak. Era digital mengubah cara kita melangkah, karena tidak mudah menghapus rekam jejak digital. Seperti kita tidak akan lupa bahwa Anies Baswedan Pernah Menyerang Prabowo, atau ketika kita mengingat bahwa Setya Novanto yang mendukung Ahok pernah tersandung papa minta saham.

Saya selalu risih ketika tau ada orang yang tidak bersih di sekitar saya. Pun ketika saya bekerja dengan pemerintah, saya akan berupaya untuk memastikan bahwa tidak ada celah terjadinya penyelewengan anggaran. Karena jika itu terjadi, saya kira lebih baik jika saya tidak menjadi bagian dari hal tersebut. Kebetulan, saya bukan manusia haram jadi hidup tanpa uang haram jauh lebih menarik bagi saya.


Lalu, bagaimana dengan Anda?

Komentar