“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Pramoedya Ananta Toer, Bumi
Manusia
Kutipan ini begitu populer, tidak
hanya menjadi penyemangat ketika kita kalah saat telah berjuang. Namun mungkin
juga, soundbyte klise yang digunakan
PSSI maupun KONI terkait kegagalan Indonesia, hancur lebur di SEA Games 2017. Tapi
kali ini saya tidak akan menjadi #Netizennyinyir melainkan seseorang yang
sedang bersedih setelah menyaksikan tayangan Mata Najwa #CatatanTanpaTitik, mala
mini.
Meskipun hadir saat taping di
Metro TV pekan lalu, namun menyaksikan tayangan mala mini membuat saya
tertegun. Najwa Shihab bagi saya sangat pribadi, bukan hanya sebagai millenials ambitchious, namun lebih dari
itu sebagai seseorang yang tinggal di Pantai Barat Sumatera saat Tsunami Aceh
menerjang. Saya ingat betul, hari itu 26 Desember 2004, tepat pada ulang tahun
kelima adik saya. Ada perayaan kecil yang kami lakukan di Tarutung, beberapa
ratus kilometer dari tempat tinggal saya di Sibolga, Tapanuli.
Ia mengajarkan saya, bahwa apapun yang terjadi, hidup berjalan biasa saja. (Source: Twitter Mata Najwa) |
Hari-hari saya setelah itu
dipenuhi oleh Najwa Shihab, reporter blasteran yang mengabarkan kondisi terkini
dari lokasi bencana Tsunami. Najwa segera menjadi idola saya, bukan hanya
karena cerdas namun juga (bagi saya) berdedikasi tinggi. Terutama mengingat
berbagai keterbatasan di lokasi bencana tsunami saat itu, dan (cerita tentang)
kritik kerasnya terkait penanggulangan bencana pada sang Paman Alwi Shihab yang
kebetulaan Menko Kesra pada saat itu.
Najwa Shihab dalam case penghentian tayangan Mata Najwa
mengajarkan saya tentang makna idealisme, dan lebih dari itu tentang berjuang
menjaga kejujuran. Jika kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka tiap pribadi
memiliki hak untuk merdeka dan menolak tunduk pada kesemena-menaan. Orang baik,
orang idealis, orang lurus tentu akan menentukan jodoh-jodoh setaranya. Najwa
Shihab, tentu akan menemukan lebih banyak orang, para anomali, yang
tercerdaskan dengan cara Ia bertutur dan menggali informasi. Kecerdasan Najwa
tidak hanya menginspirasi, namun juga menunjukkan kepada kita mengapa seorang
intelektual harus sepenuhnya tunduk hanya pada kebenaran.
Meski harus mempertaruhkan tayangan Mata Najwa demi episode Novel Baswedan, Najwa terus berjalan menerjang ombak. Mengutip Jia Effendie di Buku Perkara Mengirim Senja, “karena ombak tak pernah berencana untuk menetap di pantai, ia selalu kembali bergulung ke lautan.” Najwa segera akan menghadapi lautan luas, tidak lagi kolam yang batasannya ditentukan oleh tuan tanah.
“Izinkan saya, Najwa Shihab, pamit dari layar Metro TV. Terima kasih sudah setia menemani,” Najwa Shihab (Source: Twitter Mata Najwa) |
Najwa mungkin memang sudah
terlalu lama tunduk pada sistem. Saya kira, Ia mungkin akan membuat jalannya
sendiri, jika boleh meminjam istilah keren anak zaman sekarang, membuat Startup!
Ia lebih dari cukup mumpuni untuk membangun jalannya sendiri, tentu akan
menarik melihat inisiatif baru yang Ia buat. Sebagai penggemar yang memilih
menjadi hipster dengan tidak pernah mengajaknya foto bersama atau celfie, saya
menunggu gebrakan mbak Najwa. Saya percaya, Najwa akan selalu mendapat jabat
erat dari para sahabat. Ia akan segera memetik buah dari pohon dedikasi yang Ia
tanam 17 tahun terakhir.
Tidak ada air mata yang perlu diteteskan lagi, bukan karena tidak bersedih tapi karena ini adalah harga yang pantas kita bayarkan untuk memaknai sebuah kemerdekaan.
Komentar
Posting Komentar